Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Leadership yang Baik Mampu Menghadirkan Rasa Hormat dan Sayang dari Karyawan

12 Juli 2021   20:49 Diperbarui: 13 Juli 2021   08:57 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi leadership yang baik dalam sebuah tim kerja | Foto: Pexels.com

Tidak mudah bagi seorang atasan mendapatkan rasa hormat dan sayang dari para karyawannya. Saya lebih sering menemukan atasan yang dianggap baik, asyik dan ada juga yang ditakuti. Dikeluhkan kinerja dan kebijakan atasannya, lebih sering lagi. Jarang sekali saya menemukan karyawan yang benar-benar merasa hormat sekaligus sayang pada atasannya.

Beruntung saya pernah merasakan leadership yang baik dari mantan atasan. Walau sudah lama resign, namun rasa hormat dan sayang saya padanya tidak pernah terlupa. Bagai lagu Samson, "Kenangan Terindah", ceilehh.. hehe.

Mumpung lagi ada topik tentang "bosku terbaik!", saya pun ingin sekali berbagi pengalaman sekaligus mencurahkan rasa hormat dan sayang saya pada mantan atasan, yang dulunya sering saya panggil Miss A. A itu sebenarnya berupa nama, namun khawatir beliau merasa keberatan, maka saya pakai inisial saja, ya.

Penampilan Miss A sangat sederhana, tutur katanya juga lembut dan menenangkan, benar-benar tipe keibuan. Tapi jangan salah, beliau juga gaul dan kalau di luar jam kerja, beliau sangat asyik sekali untuk diajak bersenda gurau. 

Nah, kalau jam kerja, sifatnya berubah lagi, sangat tegas, sampai-sampai kami, para karyawan segan sekali untuk melakukan kesalahan. Bisa habis kena tegur! 

Jabatan Miss A kala itu adalah seorang koordinator, namun sekarang sudah menjabat sebagai kepala sekolah. Mendengar dirinya sudah naik jabatan, saya turut bangga sekali mendengarnya. Ada rasa ingin kembali mengajar, namun saya tahu itu tidak mungkin. Sekolah tersebut memerlukan tenaga muda yang lebih kreatif lagi dalam mengajar anak-anak kindergarten.

Nah, apa yang membuat rasa hormat dan sayang kami, para karyawan, melimpah ruah untuk Miss A?

Ilustrasi atasan yang memproteksi karyawannya | Foto: www.youth.ie
Ilustrasi atasan yang memproteksi karyawannya | Foto: www.youth.ie

1. Adanya rasa aman dan dilindungi
Sekolah tempat saya mengajar itu memiliki jenjang jabatan. Pemilik sekolah, kepala sekolah, baru kemudian koordinator pada masing-masing cabang sekolah. 

Biasanya sih kalau ada peneguran pemilik sekolah tidak akan langsung menegur kami, para karyawan, tapi bisa melalui kepala sekolah ataupun koordinator terlebih dahulu, baru kemudian koordinator lah yang menegur kami.

Ada satu kejadian, pengalaman yang buat saya sangat menyedihkan, saya hampir dikeluarkan oleh pemilik sekolah karena telah lalai menjalankan tugas, ditambah bahasa Inggris saya, sebagai bahasa pengantar sekolah, saat itu sangat amburadul.

Kelalaian tersebut benar-benar tidak saya sengaja, yakni murid yang biasa saya pegang jatuh dari tangga. 

Bersyukurnya tangga tersebut sudah dilapisi karpet tebal. Kejadiannya sangat cepat, dan reaksi saya melihat sang murid jatuh malahan melongo saking shock-nya.

Saya pun turut ke rumah sakit bersama suster dan orang tua sang murid. Alhamdulillah, sang murid baik-baik saja. Namun orang tuanya masihlah marah dan sebal pada saya, sampai sempat menelepon pada malam harinya, kalau sampai anaknya menunjukkan gejala tidak sehat karena jatuh dari tangga, maka saya akan diproses secara hukum. 

Saya sangat takut, tapi saya menerimanya karena memang kesalahan yang saya lakukan sangat fatal.

Tidak berapa lama kemudian, sang murid pun pindah sekolah. Pemilik sekolah tentu saja "ngamuk" dan mengadakan rapat. Saat itu saya sudah siap dipecat.

Kaget setengah mati, ternyata keputusannya saya tetap boleh mengajar tapi pindah kelas. Kalau tidak salah ingat, jabatan saya diturunkan menjadi asisten kembali, bukan sebagai guru. 

Menurut informasi yang saya dapat, Miss A-lah yang mempertahankan saya mati-matian agar saya diberi kesempatan sekali lagi. 

Wah, rasanya kala itu saya mau menangis sejadi-jadinya dan sangat berterima kasih sekali atas pembelaan Miss A. 

Miss A pun hanya mengatakan dengan tegas, namun sangat lembut, "Miss Nana ini kesempatan Miss Nana untuk lebih baik lagi, saya tahu Miss Nana sangat menyesal. Lain kali lebih hati-hati lagi."

Rekan kerja yang mengetahuinya juga turut lega, karena waktu itu kami, para karyawan, sudah memiliki rasa kompak. 

Duh, menulis ini kembali, rasanya ingin sekali menangis terharu. Bisa saja Miss A lepas tangan dan malah menyetujui agar saya segera hengkang dari sekolah tersebut. 

Dipikirkan kembali, saya tidak memiliki kualitifikasi sebagai guru yang baik, karena saat itu tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang Montessori, dan yaa, bahasa Inggris nan hancur. Tapi Miss A masih mau mempertahankan saya, benar-benar hal yang mengharukan bagi saya.

Tidak hanya itu, ada seorang rekan kerja yang, maaf, bisa dibilang tingkat pendidikannya kurang memenuhi syarat untuk mendapatkan gaji UMR pada umumnya. 

Kami sangat menyayangkannya karena rekan kerja tersebut sebenarnya sangat pintar dan mampu mengerjakan berbagai pekerjaan di sekolah tersebut. 

Tidak pernah mengeluh tentang banyaknya pekerjaan, ditambah rasa mau belajarnya sangat besar sekali.

Melihat hal tersebut Miss A pun membujuk pemilik sekolah untuk mau menyekolahkan rekan kerja, supaya mendapatkan gaji yang lebih layak sesuai dengan pekerjaan dan kemampuannya. 

Lama terjadi negosiasi antara Miss A dan pemilik sekolah, hingga akhirnya rekan kerja pun disekolahkan oleh pemilik sekolah, dan sepertinya gajinya pun turut dinaikkan. 

Ini hanya dua kejadian yang saya ceritakan, karena sebenarnya masih banyak yang beliau lakukan untuk kesejahteraan karyawan, kalau saya ceritakan mungkin saya bisa menulis novel.

Pembelaan Miss A dan perlindungannya terhadap kami, benar-benar membuat kami menaruh rasa hormat sekaligus sayang. 

Rasa haru selalu tersemat dihati kami, tapi beliau tidak pernah mengungkit apa saja yang beliau pernah lakukan pada kami. 

Satu hal yang dimintanya, kami harus berdedikasi dan totalitas pada pekerjaan, termasuk menyayangi murid-murid seperti anak kami sendiri.

Ilustrasi atasan dalam menegur karyawannya | Foto: Pexels.com
Ilustrasi atasan dalam menegur karyawannya | Foto: Pexels.com

2. Menegur dengan memberikan simpati, menunjukkan poin kesalahan, dan memberikan solusinya
Teguran yang diberikan Miss A tidak pernah dilakukan di depan umum, mungkin sudah banyak atasan yang melakukan hal seperti ini. 

Saya pun hanya pernah mengalami sekali atasan yang senang menghardik karyawan di depan orang lain, selebihnya atasan saya yang lain, termasuk yang sekarang memiliki etika yang baik dalam menegur.

Namun ada yang berbeda dengan cara Miss A menegur kami, yakni beliau menanyakan terlebih dahulu kondisi dan situasi psikologis kami, apakah sedang ada masalah atau tidak. 

Setelah kami menjawab, barulah beliau memberikan poin kesalahan kami apa saja. Tentu poin tersebut didasarkan pada aturan dan kebijakan sekolah. 

Baru kemudian, bila kami bertanya padanya apa yang mesti kami lakukan barulah beliau memberikan arahan. Misalkan dalam mengelola emosi. 

Dalam Montessori (saya kurang tahu kalau kurikulum sekolah lain), diwajibkan bagi para guru untuk selalu terlihat tenang. Ekspresi pun harus dikontrol. 

Seperti kalau sedang menegur anak, maka wajah guru haruslah serius, jangan tiba-tiba tertawa melihat tingkah laku anak yang lucu karena ditegur. Hal ini bertujuan agar anak paham akan kesalahannya. 

Atau seperti sang guru sedang bersedih hati karena ada permasalahan keluarga. Perasaan sedih tidak bisa dibawa ke dalam suasana belajar-mengajar karena anak-anak sangat sensitif pada perasaan orang dewasa. Akibatnya akan ada saja anak yang merengek, menangis ataupun tiba-tiba sulit untuk diajar. 

Oleh karena itu, Miss A memberikan solusi agar para guru yang mengajar dalam kelas yang sama harus bisa saling bekerja sama atau minimal menceritakan perasaan yang kini dirasakan. Agar apabila ada guru yang sedang bersedih hati, bisa mengontrol emosinya dulu di luar kelas dalam beberapa menit, dan guru yang sekelas bisa menggantikannya sementara.

Rasa simpati Miss A dengan mempertanyakan kondisi atau situasi kami terlebih dahulu, baru kemudian memberikan poin kesalahan, setelah itu memberikan solusi untuk memperbaikinya, membuat kami paham letak kesalahan kami di mana.

Kami tidak merasa disudutkan dan kesalahan pun dinilai secara objektif. 

Peneguran yang dilakukan tanpa tahu sebab dan langsung tahu-tahu dimarahi, serta tidak diberikan solusi, malah menimbulkan rasa sebal dalam diri karyawan terhadap atasan, atau timbul pemikiran dari karyawan bahwa mereka dimarahi karena mungkin mood atasan sedang tidak baik saja. Akibatnya kesalahan yang sama bisa saja dilakukan kembali karena sang karyawan tidak paham letak kesalahannya.

Ilustrasi rasa kompak antar karyawan | FotoP: exels.com
Ilustrasi rasa kompak antar karyawan | FotoP: exels.com

3. Menciptakan suasana kompak antar karyawan
Saling membantu, saling mendukung dan saling berempati antar karyawan, benar-benar saya nikmati saat bekerja di sekolah tersebut. 

Memang sih dari diri kaminya sendiri, para karyawan, juga memang sudah cocok satu sama lain, cuman ditambah lagi dengan sikap Miss A yang selalu mengakrabkan hubungan kami. 

Untuk kinerja, beliau memang seringkali membandingkan kinerja satu guru dengan guru yang lain. Tapi bukan untuk menimbulkan rasa syirik, melainkan agar kami terpacu untuk menjadi lebih baik. 

Rekan kerja yang sudah bagus kinerjanya, biasanya dengan senang hati mengajar guru lain yang belum bisa, tanpa bersikap sombong ataupun seperti menggurui. Kami sama sekali tidak pelit dalam berbagi ilmu dan saling memberikan pujian agar terus bersemangat meningkatkan diri.

Dengan begitu hubungan antar karyawan tidak sekedar untuk bersenang-senang saja, tapi saling membangun dan mendukung supaya kinerja kami lebih baik lagi. 

Hasilnya, kami sendiri yang merasakan kebahagiaannya, anak murid bertambah banyak karena skill kami dari hari ke hari semakin baik, ditambah orang tua juga puas dengan kinerja para guru dalam mengajar anak-anaknya.

Tentu bertambahnya anak murid berdampak pada besaran gaji. HOHO...

Ilustrasi atasan yang memberikan kelas bimbingan | Foto: Pexels.com
Ilustrasi atasan yang memberikan kelas bimbingan | Foto: Pexels.com

4. Memberikan kelas bimbingan agar pengetahuan karyawan terus ter-update
Saat itu kurikulum Montessori bisa dibilang masihlah baru dan langka untuk dipelajari di Indonesia. Ada, tapi tidak banyak.

Miss A dengan segudang kesibukannya, bisa saja meminta pemilik sekolah untuk mencari guru yang lebih kompeten di bidang Montessori, namun beliau memilih untuk memberikan kelas bimbingan pada kami. 

Ada beberapa guru di sekolah tersebut yang pengetahuan Montessorinya sudah mumpuni, tapi saya termasuk guru yang pengetahuan Montessorinya bisa dibilang nol besar.

Hampir setiap minggu, Miss A mengajar saya dan rekan kerja tentang Montessori ditambah dengan kursus Bahasa Inggris. 

Oh, sebagai informasi, sebelum kejadian hampir dipecat, sebenarnya saya sudah les Bahasa Inggris disalah satu tempat kursus ternama, bahkan mengambil kelas privat. Tapi saya sama sekali tidak ada kemajuan dalam berahasa Inggris. 

Berbeda ketika saya ikut kelas Miss A, Miss A memang lah seorang guru, saya mengalami banyak kemajuan dalam berbahasa Inggris setelah diajari olehnya. Ditambah dengan dukungan rekan kerja yang selalu membetulkan kata-kata saya apabila ada lafal atau pengucapan Bahasa Inggris yang salah.

Untuk sistem Montessorinya sendiri, Miss A sampai khusus membuatkan buku pedoman untuk kami, supaya kami bisa belajar di luar kelas bimbingannya.

Dari sana, semakin belajar, saya semakin jatuh cinta pada sistem Montessori yang mengarahkan, membimbing  dan mendidik anak-anak berdasarkan potensi yang dimilikinya. 

Dengan kita mengetahui potensi anak dan memahami mood belajar mereka, kita lebih mudah untuk mengajarinya, tanpa harus tarik urat dulu dengan anak-anak.

Andai Miss A tidak menyediakan waktu untuk kami, para guru yang minim pengetahuan, tidak menutup kemungkinan suatu waktu kami dipecat karena minim kualitifikasi. Dan itu berdampak juga pada reputasi sekolah karena guru-gurunya tidak kompeten. 

Dengan bimbingan beliau, posisi kerja karyawan tidak rentan dipecat, sekaligus reputasi sekolah di mata publik juga baik karena adanya kualifikasi guru yang baik.

Ilustrasi Miss A sebagai atasan yang selalu membimbing saya untuk lebih dewasa | Foto: Pexels.com
Ilustrasi Miss A sebagai atasan yang selalu membimbing saya untuk lebih dewasa | Foto: Pexels.com

5. Atasan yang mengajarkan saya untuk menjadi lebih dewasa
Kalau ini bisa jadi hanya saya rasakan sendiri. Saya tidak tahu apakah rekan kerja lainnya turut merasakannya atau tidak.

Dulu saya sangat sebal pada ibu karena sikapnya yang otoriter dan sangat keras. Selama ini belum ada satupun orang yang memberikan pengertian mengapa ibu saya sangat otoriter, tapi Miss A adalah orang pertama yang mengatakan bahwa ibu saya sangat bertanggung jawab. 

Tidak mudah bagi seorang single parent yang merawat dan mendidik anak-anak sendirian sambil bekerja. Apalagi anak-anak ibu saya, perempuan semua. Kalau tidak keras, khawatirnya kami akan masuk dalam lingkungan pergaulan yang salah.

Setiap setelah mengajar, Miss A akan menanyakan perasaan apa yang saya rasakan ketika mengajar anak-anak. Beliau juga yang membimbing saya untuk bisa memiliki perasaan sayang terhadap anak-anak. 

Sembari mengajar dan mendidik anak-anak, sembari saya mengintropeksi diri. Semakin lama saya menyayangi murid-murid seperti anak sendiri, di sana saya baru paham perasaan ibu yang selalu memproteksi anak-anaknya. Karena saya sendiri menjadi over protektif terhadap murid-murid, bahkan terkadang timbul rasa marah apabila murid-murid melakukan kesalahan.

Misalkan ada murid yang mau melompat dari meja. Sebagai guru bisa saja saya hanya bilang "ayo turun, nanti jatuh", tapi sebagai seorang ibu, omongan itu akan disertai dengan pelototan, karena khawatir murid tersebut akan terluka kalau sampai jatuh. 

Setelah murid turun dari meja, rasa khawatir pun malah menjadi omelan supaya nanti mereka jangan melakukan kesalahan yang sama. 

Saya jadi paham akan perasaan ibu yang sering ngomel di rumah, mungkin itu bentuk rasa khawatir ibu sebenarnya, apalagi saya dulunya cukup bengal untuk dinasihati. 

Rasa sebal pada ibu pun berganti menjadi rasa sayang. Masih suka sebal sih kalau diomeli, tapi memahami rasa sayang dan khawatir ibu pada saya.

Tentunya dalam mengajar sikap mengomel sebenarnya tidak diperbolehkan dalam belajar-mengajar, saya pun sering ditegur oleh Miss A dan selalu dibimbing, hingga saya menemukan titik di mana saya bisa mengelola rasa khawatir saya agar tidak menjadi omelan, tapi teguran halus dan menenangkan ala Montessori.

Dengan sikap dan tindakan Miss A yang saya ceritakan di atas lah yang membuat kami, para karyawan, merasa hormat sekaligus sayang pada dirinya. 

Beliau memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan kami, serta meningkatkan skill kami yang ilmunya bisa kami terapkan di mana saja kami bekerja. 

Sikap beliau pun menumbuhkan rasa cinta pada anak-anak murid, serta kesetiaan pada sekolah, yang artinya kami akan melakukan segala sesuatunya sebaik mungkin supaya sekolah tersebut terus berjaya, dan tidak kehilangan atasan seperti Miss A.

Walau saya sudah lama resign, tapi hati dan perhatian saya masih terus ada untuk sekolah tersebut. 

Dari situ saya menyadari bahwa leadership yang baik mampu menumbuhkan rasa hormat dan sayang karyawan kepada atasan, termasuk kesetiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun