Mohon tunggu...
Naila Aulia
Naila Aulia Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswi Jurusan Komunikasi UIN Walisongo Semarang

Mahasiswi Jurusan Komunikasi UIN Walisong Semarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Secret of Gio Clavis

9 Mei 2021   21:36 Diperbarui: 9 Mei 2021   21:38 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis kecil itu berlari semampunya di bawah guyuran hujan. Kaki kecilnya berjamahan langsung dengan dinginnya aspal. Tangisnya memecah alunan merdu hujan yang menghujam bumi. Gemuruh petir tidaklah membuatnya gentar untuk terus berlari. Beberapakali kakinya tersandung, karena matanya tidak bisa menangkap visualisasi dunia ini. Ya, gadis kecil itu buta. Sudah delapan tahun sejak ia lahir, ia tidak mengenal warna-warni dunia.

Lama berlari, lututnya pun terasa lemas. Akhirnya kakinya menabrak sebuah tiang. Ia jatuh tersungkur. Gadis itu kemudian meraba tiang itu, ternyata itu adalah penyangga sebuh gubuk yang terbuat dari kayu. Ia merangkak dengan hati-hati ke gubuk itu. Gadis itu menekuk lututnya dan kembali menangis. Bahkan, gubuk reot ini rasanya lebih baik dari rumahnya. Rumahnya terasa begitu mengerikan, setiap hari hanya ada suara pertengkaran ayah dan ibunya. Saling menyalahkan, tuduh menuduh, mengumpat, menyindir, ya hanya itu yang bisa ia dengar setiap harinya. Ia hampir lupa definisi kehangatan keluarga. Terakhir ia merasakan hal itu sekitar tiga tahun lalu, ketika kakak perempuannya masih hidup. Kakaknya yang cantik dan berprestasi. Hingga suatu hari, kakaknya ditemukan tewas gantung diri di kamar dalam keadaan tengah mengandung. Entah siapa ayahnya. Yang jelas, gadis kecil itu tak menyangka bahwa kakak kesayangnnya itu tega melakukan perbuatan sekeji itu.

Sejak saat itu, kedua orangtuanya saling menyalahkan satu sama lain. Ayah menganggap bahwa ibu tak sanggup menjalankan perannya sebagai 'guru pertama' bagi anak karena kesibukannya mengurus butik, dan ibu balik menuduh ayah tak becus menjadi ayah karena kesibukannya berpolitik di Senayan. Entah siapa yang paling bersalah, yang jelas gadis kecil itu rindu akan peluk hangat keluarga yang harmonis seperti dulu.

Tiba-tiba, gadis itu merasakan kehangatan. Rupanya seseorang tengah meletakkan jaket ke tubuhnya.

"Masa depan kita masih panjang. Kenapa kamu rela bolos sekolah demi hujan-hujanan?" tanya seorang bocah lelaki.

"Sherenia Quininda," bocah laki-laki itu mengeja badge seragam si gadis. Memang sih nama gadis itu agaknya ribet. "Rumit sekali namamu."

Gadis itu cemberut mendengar penilaian si bocah laki-laki. Tidak bisakah dia berbohong sedikit demi menyenangkan dirinya? Memang dia tidak bisa lihat apa kalau Sheren sedang bersedih?

"Aku Gio Clavis," ucap si bocah lelaki. "Hobiku adalah menyembunyikan dasi ayah, lalu melihatnya dijewer ibu karena ibu kira ayah lupa menaruhnya. Padahal aku yang menyembunyikannya. Haha..." ujar Gio panjang lebar, lalu diakhiri dengan tawa yang menggelegar. Gio tidak berbohong, itu memang hobinya, menurut Gio adegan paling lucu di dunia ini ialah ketika ayahnya yang terlihat garang di luar itu, tunduk patuh saat dijewer oleh ibu.

"Hiks.. Hiks" tangis Sheren.

Sontak Gio menoleh ke arahnya dan mengrenyit keheranan. Bukankah Gio barusan melawak? Tapi mengapa gadis di sebelahnya itu malah menangis?

"Mengapa kamu menangis? Aku kan sudah melawak barusan?" tanya Gio kesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun