Â
Abstract
Mental health is an important thing for humans and Mental Health is as important as physical health, these things are related to each other. A person who is physically healthy is not necessarily mentally healthy, and vice versa. However, with our attention to these two health, are there any things or our limits in dealing with these things. When someone feels they have experienced a mental disorder, most people will find out on their own with limited knowledge and irrelevant sources. This will have a very negative impact on the individual, he will suggest himself suffering from a mental illness, even though he may not have the disease. Lack of education or knowledge about Mental Health that makes people often do Self-Diagnose. Therefore, it is necessary to care for each other to educate, that mental illness can be Self-Diagnosed and proper treatment is only diagnosed by experts, namely a psychologist and psychiatrist.
Keywords    : Mental Health Awareness; Mental Illness Education; Self-Diagnose
Pendahuluan
Menurut (Avramova, 2022), dalam sebagian tahun terakhir, perkembangan penyakit mental di antara populasi sudah bertambah secara dramatis, yang merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang sungguh-sungguh. Bisa menimbulkan perubahan patologis dalam badan, serta rongga mulut tidak terkecuali. Ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan emosional manusia, tercantum perilaku sosialnya. Perihal ini diyakini kalau rongga mulut direpresentasikan selaku intens dalam sistem saraf pusat, sebab tidak terdapat wilayah lain dalam badan manusia. Karena mukosa mulut sudah sangat responsif terhadap pengaruh emosional semacam stres, kecemasan, serta depresi. Penyakit mulut bisa bertambah, ketika ekspresi langsung emosi ataupun secara tidak langsung, sebagai akibat dari berbagai kendala psikologis
Dengan adanya tindakan Self-Diagnose, bisa berujung pada kecemasan, sedangkan terdapat banyak penyakit mental yang penyebabnya berawal dari rasa cemas yang berlebih, serta telah banyak riset-riset yang mangulas terpaut kecemasan, terlebih pada remaja. Salah satunya penelitian (Yusfarani, 2021), Anxiety dialami oleh para remaja, sebab umur remaja bisa dikatakan umur yang masih labil dalam mengalami kondisi- kondisi yang tidak terduga.
Metode yang digunakan merupakan kuantitatif deskriptif dengan jumlah responden sebanyak 245 remaja dengan memakai metode Purposive Random Sampling. Pengumpulan informasi memakai Instrument Depression Anxiety Stress Scales (DASS 42) yang disebarkan secara online. Hasil riset diketahui remaja kelompok usia 15–19 tahun sebanyak 50,20% lebih banyak dibanding kelompok usia 20–24 tahun sebanyak 49,80%, berjenis kelamin wanita sebanyak 51,43% lebih banyak dibanding pria sebanyak 33,87%, remaja tidak pernah cemas sebanyak 124 (50,61%) lebih banyak dibanding dengan remaja cemas kadang–kadang sebanyak 84 (34,29%), selalu cemas sebanyak 29 (11, 84%), serta sangat sering cemas sebanyak 8 (3,26%), kecenderungan Psikosomatis sebanyak 142 (57,96%) lebih banyak dibanding tidak kecenderungan Psikosomatis sebanyak 103 (42,04%).
Salah satu contoh data diatas sangat disayangkan jika angkanya terus bertambah. Kecemasan dengan kecenderungan Psychosomatic Mental Health, memiliki keterkaitan yang erat dengan kesehatan fisik, maka dari itu, keduanya harus saling berjalan seimbang. Tetapi, masalah yang terjadi sekarang ini, masih begitu banyak masyarakat belum terbiasa dan belum mempunyai pengetahuan yang baik mengenai kondisi mental. Pengetahuan yang terbatas biasanya membuat masyarakat percaya bahwa, seseorang yang boleh pergi ke ahli jiwa hanya orang gila, pola pikir dan kepercayaan ini yang membuat manusia lebih tergiur saat melihat berita-berita atau sebuah website yang menampilkan informasi mengenai kondisi kejiwaan, disini awal mula terjadi Self-Diagnose.
Saat masyarakat mengetahui bahwa informasi mengenai kondisi mental dapat mereka akses melalui informasi yang beredar di sosial media, masyarakat pastinya lebih memilih untuk mengecek sendiri kondisi mentalnya dibanding memercayakan ke ahlinya. Padahal, hal itu sangat disayangkan jika terjadi, akan ada begitu banyak kemungkin buruk yang akan terjadi kepada individu jika melakukan Self-Diagnose. Dengan melakukan tindakan Self-Diagnose, masyarakat bisa memperburuk keadaannya, penyembuhannya menjadi tidak terarah, membuat dirinya mengidap penyakit mental yang bisa saja awalnnya masyarakat tidak mengalami penyakit tersebut. Sedangkan, penyakit mental ada begitu banyak jenisnya, ada penyakit mental yang gejalanya sama namun penyakitnya beda dan ada penyakit mental yang gejalanya sama namun periodenya berbeda. dari perbedaan ini, pastinya membutuhkan penanganan yang berbeda pula.
Menurut buku Kapita Selekta Kedokteran Klinik (’Cardone et al., 2008) penyakit Attention Deficit Disorder (gangguan kekurangan perhatian) dan Insomnia, kedua penyakit ini memiliki beberapa gejala yang sama, yaitu kesulitan tidur ataupun tidur dengan gelisah, bahkan dari segi diagnosis banding, keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan, Attention Deficit Disorder memiliki banyak diagnosis banding, salah satunya skizofrenia dan sedangkan pada penyakit insomnia, tidak memiliki diagnosis banding, saat tindakan Self-Diagnose ini dilakukan, apakah mungkin masyarakat dengan keterbatasan ilmunya bisa mengetahui penyakit mana yang dia derita.