Dalam hati aku mulai menduga: ia mencurigai aku. Ah tak apa, wajah sangar seperti diriku ini memang sudah biasa dicurigai sebagai yang bukan - bukan. Padahal wajah mah boleh sangar bak penjahat, tapi hati tetap titipan malaikat. Gumamku dengan bangga dan percaya diri.
Usut demi usut, ternyata langkah yang hati - hati dengan mata yang selalu mengawasi tadi hendak membawa tubuhnya yang tak bisa aku tebak berapa kilogram beratnya itu menuju ke warung madura, ke tempat yang sama dengan tempat tujuanku.
***
Warung madura itu buka 24 jam. Dan pada jam seperti itu, biasanya memang sudah sepi pembeli. Barang - barang dagangan memenuhi seluruh etalase toko. Di kiri, kanan, juga belakang penuh dengan barang - barang. Bagian depan hanya menyisakan celah untuk dua orang pembeli. Kalau orang bertubuh tinggi bisa - bisa kepala akan menatap berbagai jenis cemilan yang sengaja digantung di bagian depan toko. Kalau sedang banyak pembeli, maka orang biasanya antri sampai hampir ke bahu jalan karena memang warung itu tidak lebih 3 meter dari jalan besar.
Aku sebenarnya ingin masuk ke dalam celah yang tersedia karena memang sebenarnya bisa diisi dua orang pembeli. Namun, karena gadis misterius itu duluan dan tentu tidak menyisakan tempat, akhirnya aku memutuskan mengantri dari belakang.
Sambil mengantri, aku memperhatikan belanjaan gadis itu. Gula satu kilo, kopi, peralatan mandi dan beberapa bungkus mie instan. Barang-barang sederhana, namun entah mengapa terasa mengandung cerita.
Memperhatikannya dari dekat seperti ini sebenarnya, sudah membuat pikiran yang tadinya mendominasi hati dalam menilai dan memberi label si gadis, kini tak bisa berbuat apa - apa.
Sekarang pikiranku tak lagi mampu mendikte perasaanku sebagaimana selama ini, dari kejauhan, ia hanyalah bayang samar yang kusematkan label: gendut, pendek, gembul, dan—ah, sewenang-wenang aku menjadikannya sekadar objek penilaian. Kini, di dekatnya, hatiku memberontak atas semua itu.
Ia tak lagi sekadar “tubuh” di antara tubuh-tubuh lain yang lalu-lalang di jalanan, yang berkeliaran di hutan, yang berenang bebas di lautan atau yang mengepak - ngepakan sayap di angkasa. Ia seolah menjadi ladang tempat batinku diuji—apa yang oleh para filsuf disebut sebagai medan etik: tempat di mana hati dan pikiran saling mengadili.
Hingga terjadilah pergulatan hati dahsyat ketika akhirnya wajah dan pandangan si gadis mengarah keluar tatkala ia mencoba meraih beberapa jajanan yang ada di gantungan di warung itu.
Setelahnya ia lalu memberikan uang ke penjaga warung, mengambil belanjaan dan bersiap pulang. Namun sekejap, ia hendak memutar balik dan bergumam seraya mengernyit sambil menghitung kembali uang kembalian. Rupanya ada yang keliru. Namun kemudian dengan sopan ia memberitahu penjaga warung, lalu tersenyum kecil setelah kesalahpahaman itu diluruskan. Uang kembaliannya pas.