Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Public Speaking Pejabat yang Menyakitkan: Cermin Krisis Politik Kita

15 September 2025   13:05 Diperbarui: 17 September 2025   05:00 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir usai Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/7/2025).(dpr.go.id-Oji/Andri via Kompas.com)

Mereka memperlakukan politik hanya sebagai jalan pintas untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan ekonomi. Maka tak heran bila banyak warga kemudian merasa politik itu menjijikkan, sesuatu yang penuh tipu daya dan intrik. Padahal, sejatinya tidak demikian. 

Politik, dalam makna aslinya, politik justru keren, penting, dan mulia. Politik adalah ruang untuk memperjuangkan hak-hak warga, tempat di mana kesepakatan sosial kita ditegakkan: hidup bersama dalam aman, tenteram, dan sejahtera.

Sayangnya, politik yang ideal itu sering kali dikhianati oleh praktik yang bobrok. Politikus yang terpilih bukan selalu yang punya kapasitas, integritas, atau visi kebangsaan, melainkan yang populer atau punya uang banyak. 

Sistem yang belum sehat, ditambah dengan kognisi masyarakat yang belum merata, membuat rakyat cenderung memilih berdasarkan siapa yang paling sering tampil di layar televisi atau di baliho, bukan siapa yang benar-benar punya kapasitas untuk memimpin.

Akibatnya, kursi kekuasaan lebih sering diisi oleh orang-orang yang sekadar lihai mencari suara, bukan yang lihai mencari solusi. Mereka mungkin pandai berpose di depan kamera, tetapi gagap ketika harus bicara tentang nasib petani, buruh, atau nelayan. 

Mereka mungkin mampu menyewa tim ahli untuk menyusun pidato, tetapi gagal menyalurkan empati ketika kata-kata itu diucapkan di hadapan rakyat.

Politik akhirnya kehilangan rohnya. Ia berubah menjadi ajang transaksi, bukan lagi sarana transformasi. Padahal, politik seharusnya menjadi wadah mulia untuk mewujudkan cita-cita bangsa, bukan sekadar mesin pencetak kekuasaan dan kekayaan pribadi.

Lalu apa yang harus dilakukan? 

Pertama, standar kompetensi bagi calon pemimpin harus dinaikkan. Saat ini, syarat minimal untuk menjadi anggota DPR atau kepala daerah hanyalah lulusan SMA. Padahal, kemampuan bernalar, meretorika, dan menata kata membutuhkan latihan panjang. Tanpa bekal pendidikan yang lebih tinggi, potensi blunder ucapan maupun kebijakan sangat besar.

Bukan berarti lulusan SMA tidak mampu, tetapi tanggung jawab sebesar merumuskan kebijakan publik jelas membutuhkan fondasi intelektual yang lebih kuat. Dengan standar pendidikan lebih tinggi, diharapkan yang maju ke panggung politik adalah orang-orang yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kedalaman berpikir.

Kedua, partai politik harus serius menyiapkan kader dengan pendidikan politik yang berjenjang. Calon pemimpin tidak boleh langsung "loncat" ke panggung nasional hanya karena dikenal publik. Mereka harus ditempa sejak dini: dilatih retorika, diasah empatinya, dan dibekali pengalaman membela rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun