Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lelah Tapi Tak Terlihat: Kenali Kelelahan Emosional

7 Juni 2025   23:03 Diperbarui: 7 Juni 2025   23:03 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kelelahan emosional (Calm.com)

Pernahkah kita merasa seolah dunia tidak lagi memberi ruang untuk bernapas? Tubuh mungkin tampak baik-baik saja, tetapi hati terasa penuh sesak. Bangun tidur terasa berat, bukan karena tubuh yang sakit, melainkan karena pikiran yang sudah letih sebelum hari benar-benar dimulai. Inilah yang disebut dengan kelelahan emosional. Sebuah kondisi diam-diam yang banyak dialami, namun jarang benar-benar dimengerti.

Kelelahan emosional bukan sekadar rasa capek biasa yang bisa hilang dengan tidur semalam. Ia seperti kabut yang menutupi semangat hidup. Menurut Mayo Clinic, kelelahan emosional terjadi ketika seseorang merasa kewalahan dan terkuras secara emosional akibat tekanan yang berlangsung lama. Tekanan ini bisa datang dari pekerjaan, hubungan pribadi, kondisi ekonomi, bahkan ekspektasi terhadap diri sendiri. Lama-kelamaan, kita merasa seperti robot yang berjalan otomatis, tanpa energi batin untuk merasakan apapun, baik sedih, marah, maupun bahagia.

Tanda-tanda dari kondisi ini kerap luput dari perhatian. Kita mengira itu hanya "bad mood" sesaat. Padahal, saat seseorang mulai merasa kosong, mudah marah karena hal kecil, kehilangan motivasi, atau mulai menarik diri dari lingkungan, bisa jadi itu bukan lagi hal biasa. Gangguan tidur juga menjadi indikator penting: ada yang susah tidur karena pikirannya tak kunjung tenang, ada pula yang justru tidur berlebihan sebagai pelarian dari kenyataan yang melelahkan. Bahkan, tak jarang tubuh ikut berbicara---melalui sakit kepala yang terus-menerus, gangguan pencernaan, atau nyeri yang tak diketahui sebabnya.

Kelelahan emosional punya akar yang dalam dan beragam. Salah satu pemicunya adalah beban kerja yang berlebihan. Di tengah dunia yang menuntut produktivitas tanpa henti, banyak orang merasa harus terus bekerja walau hati sudah meminta berhenti. Kita dipuji jika sibuk, seakan-akan sibuk adalah tanda keberhasilan. Tapi apa artinya keberhasilan jika yang tersisa hanyalah lelah yang tak kunjung sembuh?

Masalah pribadi pun tak kalah besar pengaruhnya. Hubungan yang penuh konflik, tekanan finansial, atau duka karena kehilangan orang tercinta dapat menjadi pemantik kelelahan mental. Terlebih lagi bagi mereka yang memikul lebih dari satu peran---sebagai pencari nafkah, pengasuh, sekaligus pemikul harapan. Di saat semua orang bergantung padanya, siapa yang bisa ia andalkan ketika ia sendiri tak kuat berdiri?

Sayangnya, banyak dari kita yang terbiasa menahan. Kita dididik untuk kuat, untuk tidak mengeluh, untuk menyimpan luka rapat-rapat. Kita tersenyum di luar, meski di dalam ada badai. Kita menyapa orang lain dengan ramah, padahal ingin berteriak meminta waktu untuk sendiri. Dan begitulah, hari demi hari berlalu, membuat kita makin terpuruk dalam keheningan yang tidak disadari siapa pun.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, dampaknya bisa sangat serius. Menurut Healthline, kelelahan emosional dapat memicu gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Tidak hanya itu, performa kerja menurun, hubungan sosial memburuk, dan risiko penyakit fisik meningkat. Sebuah studi dari Universitas Negeri Semarang juga menunjukkan bahwa kelelahan emosional berkaitan erat dengan konflik peran dan ambiguitas peran, terutama ketika seseorang dihadapkan pada tuntutan yang saling bertentangan dan tidak mendapat kejelasan arah.

Namun, kabar baiknya, kelelahan emosional bisa diatasi. Langkah pertama adalah menyadari dan menerima kondisi tersebut. Menyadari bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah. Tidak apa-apa untuk berhenti sejenak. Justru dengan pengakuan itu, kita memberi ruang bagi pemulihan untuk mulai terjadi.

Istirahat bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan. Memberi waktu pada diri untuk tidak melakukan apa-apa bukan berarti malas, tetapi bentuk kepedulian terhadap diri sendiri. Menikmati pagi dengan tenang, berjalan kaki tanpa tujuan, atau sekadar duduk memandangi langit bisa menjadi obat yang sederhana namun mujarab.

Berbagi cerita dengan orang yang dipercaya juga sangat membantu. Tak perlu langsung ke psikolog jika belum siap. Terkadang, telinga yang mendengar dengan hati jauh lebih berharga daripada solusi. Namun, jika dirasa beban terlalu berat, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Konseling bukan hanya untuk mereka yang "sakit jiwa", melainkan untuk siapa saja yang ingin kembali sehat secara mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun