Umurku sebelas tahun ketika aku mengetahui bahwa penguin, pada kenyataannya, tidak bisa terbang. Ini mungkin tampak seperti cerita biasa -- bahkan memalukan -- tetapi bagiku, hal itu mengubah jalan hidupku.
Lima tahun sebelum aku tahu tentang ini, aku menemukan sebuah buku terkubur di bawah peninggalan masa lalu di bagian paling belakang lemari nenek. Dia dan ibu punya kebiasaan terlibat dalam percakapan yang paling membosankan bagi anak berusia enam tahun, jadi aku cenderung berjalan ke sudut dan celah rumah besar milik nenek yang bergaya rumah panggung. Rumah itu merupakan suatu keajaiban tersendiri, terletak di jalan Masjid Raya, merindukan saat-saat ketika laki-laki memiliki kumis yang rapi dan perempuan bersepeda saling menyapa di setiap tikungan jalan.
Tapi, kembali ke buku itu. Usianya pasti hampir satu abad lebih tua dariku. Sampul kulitnya sudah usang dan ikatan benangnya hampir putus.
Aku baru saja menemukan keterampilan membaca, dan bahkan bagian belakang kaleng biskuit adalah peti keajaiban yang baru dibuka yang sebelumnya dijaga ketat kerahasiaannya. Jadi, tidak mengherankan kalau aku dengan rakus melahap halaman-halamannya.
Buku itu bercerita tentang penguin yang melompat dari kubah esnya dan terbang ke langit. Seorang tokoh protagonis muda, seusiaku, diangkat ke awan oleh penguin ini, dan melayang melalui keajaiban persahabatan.
Ketika ibu dan aku meninggalkan cangkir teh kami yang setengah penuh di atas meja dan meninggalkan rumah nenekku untuk kembali ke perkampungan pinggir kota yang panas dan hambar, aku membawa serta pengetahuan baruku. Aku duduk di beranda depan dan mengarang cerita - masing-masing lebih megah dari yang terakhir - tentang penguin spektral yang menari di langit malam.
Bertahun-tahun berlalu, aku bahkan menjadikan diriku  sebagai tokoh protagonis dalam cerita tersebut, menyatukan kenangan-kenangan yang begitu nyata sehingga aku hampir bisa mengingat aroma pekat senja bersama sekutu burung kaisarku. Aku mendapatkan popularitas sementara di taman bermain sekolah, dan anak-anak lain berkerumun di dekatnya untuk berspekulasi tentang perjalanan fantastis ke Kutub Selatan untuk menyaksikan penguin kaisar yang megah terbang tinggi.
Dalam perjalanan kelas ke kebun binatang, kami berharap dan berdoa agar bisa melihat penguin terbang, dan satu-satunya keyakinanan kami dalam perjalanan pulang dengan bus adalah bahwa mungkin penguin terlalu lelah untuk terbang di hari yang panas di musim kemarau ini.
Bahkan hawa dingin itu sendiri merupakan petualangan mistis, karena kami hanya melihat salju di dongeng dan film kartun Barat hari minggu.
Kemudian, pada suatu bulan Oktober yang cerah, nenekku meninggal. Ibu membawaku sekali lagi ke jalan kota untuk merencanakan pemakamannya. Ibuku tidak berani menitikkan air mata di depanku, tapi aku sudah cukup dewasa untuk mengenali isak tangisnya yang pelan di balik pintu tertutup tersamarkan oleh rinai musim hujan. Aku adalah seorang anak praremaja yang sigap dan kurus sekarang, mendekati masa remajaku dan terlalu tua untuk membaca buku cerita. Namun, pada malam sebelum pemakaman nenek, aku masih membayangkan diriku terbang di antara penguin di negeri bersalju yang jauh, dan aku masih memimpikan terbang bersama mereka berjam-jam setelah mata saya terpejam.