Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Si Penyendiri dan Para Pembenci

5 Februari 2020   15:19 Diperbarui: 5 Februari 2020   15:31 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak tahu apa yang membuat dirinya marah. Aku sendiri tidak pernah marah dengan siapapun bahkan mencoba ingin menjadi baik agar mereka senang dengan kehadiranku. Itulah yang direnungkan oleh Modri. Pria yang lebih suka dengan kesepian dan ketenangan.

Ia memiliki postur tubuh tinggi dan cenderung introvert. Di kelas, ia lebih suka membaca buku dan aktif menyimak pelajaran dari gurunya. Meskipun jarang bertanya, ia selalu mendapat nilai bagus. Nilainya selalu A.

Namun, entah kenapa ia sering menjadi olok-olokan teman-temannya. Ia dibilang aneh, bodoh, bahkan idiot. Ia sering mendengar hal itu dari penuturan teman-temannya yang habis mem-bully-nya. Bahkan, ia sering dijodoh-jodohkan dengan orang yang wataknya keras. Coba kalau dia didekati sama Obin pasti bakal bunuh diri. 

Ia tidak bisa marah karena tidak ingin marah. Bahkan ia mencoba menjadi ramah dan baik kepada siapa saja. Ia selalu mudah menyapa siapa saja, tidak peduli mereka membencinya atau tidak. Namun, orang yang disapa selalu menampilkan wajah tidak bersahabat seakan Modri adalah iblis yang pantas dimusnahkan.

Ia sendiri sering merenung, kenapa dirinya sering dimarahi. Seakan, mereka adalah orang tua bagi dirinya selain ayah dan ibu yang membimbing dan melahirkannya. Bedanya, mereka berperilaku kasar dengan dirinya. Menurut penuturan teman-temannya yang ia dengar, Modri orangnya kaku dan tidak bisa berfikir tentang dirinya.

Asrama harusnya menjadi rumah tempat dirinya mengenal teman-temannya. Namun, entah apa yang membuat dirinya gugup ketika bertemu dengan orang lain.

Setiap istirahat dan pulang sekolah, selalu dihabiskan waktunya dengan membaca buku. Biasanya novel yang mengandung cerita meskipun temanya bercampuran.

Ia memang dikenal pintar di sekolah meskipun tidak pernah dapat piala. Namun, entah kenapa tidak ada satupun yang ingin menanyakan pelajaran apapun pada dirinya. Padahal, ya itu tadi, ia adalah siswa terpintar di kelasnya.

Meskipun pintar, ia sering dibilang idiot. Tingkat kebodohan terendah dalam hierarki intelektualitas manusia. Kebodohan yang bisa masuk sampai kepada harga diri manusia.

Modri terus merenung di sebuah koridor asrama yang menghubungkan tempat tidurnya dengan ruang musola. Apa karena ia introvert, ia tidak tahu.

Dirinya memang dikenal sebagai anak introvert. Jarang ngomong di kelas meskipun mudah sekali tertawa. Ia juga anak yang ramah dan suka memberi apapun seperti jajanan, souvenir, dan pernah juga mengajaknya jalan-jalan. Namun, entah mengapa teman-temannya memvonis dirinya idiot.

Di tahun terakhir memasuki era teknologi, siswa-siswa sudah dimanja oleh aplikasi whatshapp. Siapapun bisa dengan mudah melihat pesan yang masuk. Karena, aplikasi ini dibuat dengan layaknya orang menyapa orang lain. Bahkan, grup.

Siapapun siswa dimintai nama dan nomor kontak. Mereka bebas mengutarakan berbagai ekspresi tentang apa yang dialami. Tak terkecuali Modri. Ia selalu ikut nimbrung karena lebih suka posting berita di grup berlogo telepon tersebut. Kadang, hasil karyanya berupa gambar mobil.

Namun, baru tiga bulan gabung, ia langsung dikeluarkan. Modri kaget dengan keputusan sepihak itu. Namun, karena tidak ingin marah ia lebih memilih menerima saja meskipun tidak tahu alasan dibalik pengeluaran dirinya.

Suatu hari, ada postingan di akun media sosial Facebook yang menampilkan wajah dirinya. Ada nama dirinya lengkap dengan jumlah temannya yang mencapai 1200-an orang. Mayoritas adalah anggota asramanya.

Sesuatu yang mencengangkan muncul dari sebidang kotak di beranda akun palsu dirinya. Ada tulisan yang tidak pantas ia ucapkan sendiri. Aku ingin mencari seorang cewek cantik namun idiotnya bukan main. Itulah kriteriaku. Modri hanya melihat dengan geraham bergetar. Matanya nanar namun ia berusaha memendam gejolak batinnya.

Modri berusaha tegar dan tersenyum kepada siapapun. Ia lakukan hal itu setiap hari demi menyenangkan semua orang. Namun, balasan yang diterima adalah marah, makian, dan pukulan. Ia tak bisa menghindar bahkan tidak tahu cara mengelak stimulus tersebut. Ia hanya bisa diam dan sabar.

Namun, keadaan itu membuat dirinya semakin tertekan. Ia tidak tahan untuk mengekspresikan kekesalannya kepada siapa saja dengan bercerita. Ia ingin bercerita kepada siapa saja tentang dirinya. Ia berusaha egaliter.

Namun, tidak ada yang mau membalas. Paling tidak hanya ucapan, Sabar Modri... kawan-kawan memang begitu. Semuanya menjawab seperti itu. Bahkan, orang yang pernah menghinanya sekalipun. Ia sudah memberikan berbagai bingkisan berupa oleh-oleh yang bisa dinikmati namun malah dibalas dengan hinaan yang justru lebih menyakitkan.

Maka dari itu, ia tidak membeli apa-apa begitu pulang dari liburan. Tentu saja, ia ditanya mana oleh-olehnya. Modri tidak bersedia menjawab. Ia tidak tahu harus menjawab apa, mau ngomong takut serba salah. Sebab, ia hanya bisa bicara secara blak-blakan atau jujur sehingga responnya seringkali negatif.

"Maaf kawan, aku cari tapi tidak ada."

"Maksudnya tidak ada apa?"

"Enggak mau ngasi karena kita marah sama kamu?"

Modri hanya diam dan menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab yang benar seperti apa.

Akhirnya, terjadilah apa yang terjadi. Ia dipukul tanpa tahu apa salahnya. Dipikirannya, ia hanya ingin bersikap baik dengan siapa saja karena menurut prinsipnya, siapa yang baik sama orang lain maka mereka pun akan membalasnya dengan baik juga.

Setelah pemukulan itu mereda, ia langsung pergi menuju gedung kelas yang letaknya sebelah barat gedung asrama. Gedung itu berlantai 3 dan temboknya sangat besar.

Modri terus berlari sambil menitikkan air mata. Apa yang salah dengan aku selama ini. Aku berusaha baik dengan siapapun dan tidak pernah menyakiti siapapun. Aku tidak pernah marah, mengejek, apalagi mencuri. Aku hanya mencoba menjadi baik di depan mereka. Tapi, apa ini balasannya.

Sampailah ia di lantai 3 gedung kelas. Koridor ruangan itu tampak gelap karena sengaja dimatikan. Demi penghematan. Modri mengambil sebuah kursi di salah satu sudut ruangan kelas itu.

Ia geser kaki kursi itu hingga menyentuh pagar koridor. Setelah itu, ia menaikkan kaki kiri kemudian kaki kanan ke atas bangku. Setelah menginjak bangku, Modri melangkah lagi menuju alas pagar koridor yang ukurannya lebar. Ia rentangkan tangannya seperti merasakan kebebasan.

Matanya sudah berair namun ekspresi bibirnya menunjukkan senyuman. Sesekali ia tampakkan ekspresi tawanya seperti akan menemukan sebuah kebebasan hakiki.

"Saatnya akhiri semua masa lalu ini."

Tiba-tiba, seseorang berteriak di sampingnya.

"Mas, jangan berdiri di atas!"

Modri yang tidak siap langsung kaget. Tiba-tiba, kaki sebelah kirinya tergelincir. Raungan terdengar hingga asrama. Si satpam langsung mencengkeram tangannya. Pria itu hampir jatuh.

"Mas, aku pegang. Insya allah aman."

"Pak, lepaskan aku! Aku mau terjun aja."

"Jangan, kalau kamu mati nanti merepotkan sekolahan."

"Jangan pedulikan saya. Lagi pula mana ada yang peduli denganku. Mau baik aja dikira iblis. Kalau aku memang jahat pantasnya aku mati saja biar aku lebih damai."

"Jangan mas, bunuh diri tidak menyelesaikan masalah. Jangan sampai menambah beban baik di pihak sekolah maupun orang tuamu. Kalau sampai...."

"Ya ya ya Pak, aku malah lebih damai kalau teman-temanku diperkarakan sebagai tersangka." Potong Modri sambil berusaha menggoyangkan tangannya.

Tiba-tiba, beberapa orang berkerumun di bawah kaki Modri. Mereka semua langsung panik melihat temannya yang sering dibully itu menerjunkan diri.

"Kami akan menolongmu!" Teriak salah satu temannya.

Jam 1 malam itu, suasana sekolah gempar. Seorang satpam terus menahan tangan Modri yang hendak menjatuhkan diri. Tangan si satpam terus digoyangkan.

Beberapa orang temannya langsung datang dan menarik tangan Modri.

"Tenang Pak, saya dan teman-teman akan bantu Modri."

"Baik Nak, kasihan kalau dia terjun."

Seorang teman langsung menarik tangan pria itu. Modri terus saja berteriak Jangan Bela Aku.

"Aku tak perlu dibela. Matipun aku senang."

"Jangan ngomong seperti itu Modri!!! Kita sebenarnya sayang sama kau. Jangan seperti anak kecil yang enggak mau menerima setiap masalah."

"Betul Modri, kita memang tidak mau menyakitimu. Tapi, cobalah kau peduli dengan sekitarmu. Jangan egois dan berlagak dunia adalah milikmu."

Seorang temannya lagi berteriak, "Aku tahu kamu itu introvert orangnya. Tidak masalah teman-temanmu marah atau kesal tapi ingatlah, semua masalah itu ada pada dirimu. Cobalah terbuka dengan kami dan jangan menutupi semua borokmu. Aku minta maaf lho kalau sedikit marah."

Modri tidak bereaksi. Tidak bisa berkata apa-apa selain pasrah tangannya ditarik tangan keras si satpam dan salah satu temannya.

Setelah diturunkan, Modri diberikan air minum dari seorang temannya.

"Seharusnya, kalau kalian marah bilang dong alasannya apa. Supaya aku tahu salahku dimana?"

"Jangan begitu kawan. Kalau ada masalah justru kamu yang harusnya bicara. Aku salah apa? Kenapa aku dimarahi, dipukul, dihina, sama tidak disukai semua orang? Itu semua karena kurangnya empati dari siapa? Dari dirimu kawan."

"Sudahlah bro, kita semua memang salah karena tidak mau mengerti maksud baikmu. Kita tahu kamu itu peduli dengan orang lain."

"Aku hanya ingin bisa menyenangi kalian semua. Aku suka memberi oleh-oleh dan semua kebahagiaan. Itu semua untuk menyenangi kalian dan tahu kalau aku ini orangnya baik."

"Udahlah Modri, kamu itu kawan kami yang terbaik." Hibur seorang kawan yang kemudian merangkul dan membawanya pergi dari gedung kelas itu.

Beberapa penghuni asrama itu mengucapkan terima kasih pada sang satpam. Beberapa dari mereka merangkut Modri sambil tertawa riang.

Di lantai dekat lokasi Modri berencana menerjunkan diri, ada sebekas air yang warnanya mirip warna merah. Namun, tidak ada yang peduli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun