Ada sebuah paradoks yang unik, semakin sering Anda menerima pujian, semakin tidak berharga pujian tersebut. Akhirnya, Anda hanya menganggap semua itu sebagai omong kosong yang tidak jelas, tidak berarti, dan melemahkan.
Saya tumbuh di lingkungan yang jarang mengkritik, entah di rumah, sekolah, atau pun lingkungan tempat tinggal.Â
Malahan saya sangat sering mendapat pujian atas satu pencapaian kecil yang saya raih. Tetapi kenyataannya, semua itu tidak bermakna apa-apa lagi.
Seiring waktu, saya mengerti bahwa mereka tidak ingin mengecewakan saya dengan kritik atau penghakiman. Lama-kelamaan, pujian itu seperti sebuah formalitas belaka sebagai rasa solidaritas yang semu.
Kini (kebanyakan) pujian mereka tidak lagi saya tanggapi. Saya tahu, tidak semua pujian itu diberikan dengan tulus. Bukannya saya tidak membutuhkan dukungan mereka, tetapi jika hanya sekadar formalitas belaka, saya malah merasa terhina. Menjijikkan!
Lagi pula, pujian yang salah sasaran, yang diarahkan pada mereka yang berharga diri rendah, malah akan membuat mereka merasa semakin tidak aman.Â
Bayangkan seorang teman Anda mendapatkan nilai di bawah KKM, dan Anda berujar, "Hei, selamat! Saya turut bangga atas itu!"
Nah, bagaimana perasaan teman Anda? Itu.
Keangkuhan
Pujian yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan malah berpotensi melahirkan sifat angkuh.Â
"Tuh, anak saya lebih pintar dari anak tetangga. Bisa apa dia?" Percayalah, jika putra/putri Anda mendengar itu, sifat angkuh akan tumbuh dalam dirinya dengan perlahan tanpa disadari.
Pujian perbandingan sosial semestinya ditekan sebisa mungkin agar anak-anak punya rasa peduli dengan orang lain dan menjunjung tinggi kesetaraan sosial.Â