Seorang murid selalu mendapatkan nilai sempurna dalam ujiannya. Setiap guru memujinya. Setiap pertemuan. Dia duduk dalam kepulan asap pujian, dan beberapa minggu yang berlalu terasa sangat membanggakan.
Suatu waktu, nilainya anjlok di bawah KKM. Dia tidak terbiasa. Beberapa hari kemudian semenjak tragedi itu, dia stres. Walau tidak ada seorang pun yang menyalahkannya atau memakinya, justru pikirannyalah yang mengutuk dirinya sendiri.
Jika kehidupan selalu bersikap ramah pada kita, tentu tidak masalah untuk punya mental kayu. Tetapi kenyataannya, kehidupan tidak bersikap demikian.Â
Dunia suka memberi ujian pada penghuninya. Kalau kita punya mental yang mudah patah, kita tidak akan pernah siap untuk menghadapi ujian tersebut.
Menjadi beban
Oh oh oh, pujian yang dilimpahkan terlalu berlebihan malah bisa membuat kita merasa terbebani. Sungguh! Ketika pujian itu mengalir pada diri kita, disadari atau tidak, kita berhasrat untuk mengamini/mewujudkan pujian tersebut.
Bahkan ketika pujian tersebut sudah pernah terjadi, kita ingin mempertahankannya. Dan jika tidak dibatasi, kita cenderung menghalalkan segala cara untuk tetap memiliki pujian tersebut. Itu seperti identitas yang melekat pada kita.
Ketika pujian itu tidak dibenarkan oleh diri kita sendiri, kita seperti kehilangan identitas dan harga diri.
Pernah suatu waktu, saya mendengar percakapan ibu saya dengan banyak sanak saudara. Beliau berucap, "Dia pintar. Juara umum." Ah, saya muak dengan pujian seperti itu!
Saya ingin pergi menerobos percakapan dan berseru bahwa pujian itu tidak benar dan kebohongan. Tetapi itu terlalu gila! Lagi pula, kalimat keduanya benar. Jika saya tetap bersikeras untuk mengatakan itu sebuah kepalsuan, saya mempermalukan ibu saya sendiri.
Kini pujian itu menjadi beban. Mau tidak mau, satu nilai rendah yang saya peroleh di kelas tidak boleh bocor kepada sanak saudara, dan bahkan ibu saya.Â
Tapi, saya berbohong. Saya tidak lagi peduli dengan pujian semacam itu. Saya mengerti keinginan seorang ibu untuk membanggakan anaknya.