Kebiasaan "memuji" itu berlanjut hingga putrinya bertumbuh menjadi anak-anak. Kini apa yang terjadi? Ya, keponakan saya tidak pernah meminta maaf lagi seandainya dia melakukan kesalahan-kesalahan kecil.
Dan bagian terburuknya adalah, kesalahan-kesalahan yang lebih besar mulai ditoleransi dirinya sendiri karena berusaha mencari pembenaran diri seperti yang sering dilakukan ibunya semenjak kecil.
Saya setuju, membesarkan seorang anak dengan penuh kelembutan dan pengertian bukanlah ide yang buruk. Tapi jika dia berbuat kesalahan dan Anda selalu menoleransi, Anda mengundang bencana.
Akibatnya, dia akan mengira kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya adalah suatu kewajaran dan berpotensi untuk terus mengulanginya.
Anak-anak itu bagaikan kertas kosong yang masih belum mengerti tentang salah atau benarnya suatu tindakan.Â
Jika kita terus "membenarkan" kesalahan-kesalahan mereka, saya khawatir mereka terlambat untuk mengerti bahwa dunia sudah dipenuhi dengan kejahatan dan hampir hancur olehnya.
Jika Anda menjejerkan api dan roti, seorang balita mungkin akan memilih api karena api itu menarik matanya dengan cahaya yang mengagumkan. Tetapi apakah itu baik? Di sinilah Anda mesti memberikan ketegasan dengan tetap menjunjung kelembutan bahwa api itu akan melelehkan kulitnya!
Jadi, pujian yang berlebihan pada seorang anak tidak selamanya menggambarkan kelembutan dan kasih sayang.Â
Justru kalau kita benar-benar sayang pada mereka, semestinya kita tunjukkan pada mereka tentang kesalahan-kesalahannya dengan lembut agar mereka tahu mana yang membahayakan dirinya.
Dan oh, poin ini tidak hanya berlaku pada anak-anak, tetapi juga pada murid, karyawan, termasuk kita (dalam konteks tertentu).
Bermental kayu
Pujian itu mengeraskan mental seseorang. Jika kita terus memujinya dalam setiap hal, mental yang dimilikinya akan semakin mengeras, mengeras, dan mengeras hingga akhirnya mudah patah. Satu serangan saja, mental itu akan hancur seperti kayu yang patah.