Dalam budaya tradisional di seluruh dunia, orang tua biasanya memberikan sesedikit mungkin pujian pada anaknya.Â
Mereka khawatir terlalu banyak pujian akan menggelembungkan ego, membuat anak terlampau percaya diri, dan terlalu mementingkan dirinya sendiri.
Tapi hari ini, semuanya berbeda. Asumsi yang berkembang adalah asumsi ganda: banyak pujian dan sedikit kritik. Banyak orang percaya bahwa pujian merupakan cara yang efektif untuk memperkuat perilaku baik.
Katanya pujian itu meningkatkan harga diri dan kritik merusaknya. Ini seperti Anda memiliki tangki gas: pujian akan mengisinya dengan perasaan baik dan persetujuan sosial, tetapi kritik mengurasnya.
Namun, apa yang saya temukan sejauh ini adalah, pujian juga bisa merusak harga diri seseorang. Ada bahaya dalam menerima pujian dengan sepenuh hati dan tanpa syarat. Seperti yang ditakutkan oleh banyak orang tua dulu, pujian punya potensi besar untuk melemahkan seseorang.
Sama seperti gula, jika pujian digunakan terlalu bebas atau dengan cara yang tidak tepat, itu merusak. Tapi andai kata digunakan dengan hati-hati dan hemat, itu bisa menjadi hal yang luar biasa.
Sungguh, pujian yang terlalu berlebih malah bisa berbahaya bagi kita maupun mereka yang menjadi objek.Â
Demikian pula sebaliknya, pujian yang terlalu minim berpotensi mendatangkan kelesuan bagi seseorang, menganggap bahwa dunia tak punya orang yang cukup mengapresiasinya.
Lebih dari itu, pujian yang tidak sesuai porsi punya lebih banyak bencana daripada kemujuran. Mengapa?
Menghasilkan paradigma yang keliru
Keponakan perempuan saya tumbuh dengan banyak dialiri pujian. Semenjak masih balita, dia tetap akan mendapatkan pujian saat dirinya sendiri melakukan kesalahan kecil. Saya mengerti bahwa ibunya ingin membesarkan dia dengan kelembutan hati dan penuh pengertian.
Jika dia melakukan kesalahan sepele, ibunya akan berkata, "Tidak apa-apa, jangan dipikirkan." Kemudian esoknya melakukan kesalahan serupa, ibunya (masih) berkata, "Ah, setiap orang melakukan hal semacam itu."