Sebaliknya, bayangkan jika teman ada biasa datang tepat waktu ketika diajak nongkrong, tiba-tiba dia ngaret satu jam. Ini akan sangat mengecewakan bagi Anda dan mungkin Anda mulai menempelkan wajan ke pipinya (dengan kecepatan tinggi).
Ini yang disadari Marcus Aurelius.
Dia mengajak kita untuk sengaja memikirkan apa (dan siapa) saja yang akan merusak hari kita, untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi.
Dengan demikian, kita akan mengubah hal-hal tersebut dari yang "tak terduga", menjadi hal-hal yang "telah diantisipasi".
Melalui praktik ini, kita telah mencabut (meminimalisir) gigi taring ketidakpastian.
Jika sesuatu berubah dari tidak terduga menjadi bisa diantisipasi, saat kejadian tersebut akhirnya benar-benar terjadi, maka efek menyebalkannya akan jauh lebih berkurang.
Musibah terasa lebih berat jika datang tanpa disangka, dan selalu terasa lebih menyakitkan
Karenanya, tidak ada sesuatu pun yang boleh terjadi tanpa kita sangka-sangka. Pikiran kita harus terus memikirkan semua kemungkinan, dan tidak hanya situasi normal. Karena adakah sesuatu pun di dunia yang tidak bisa dijungkirbalikkan oleh nasib?
Mirip dengan imunisasi. Kita memasukkan kuman yang sudah dilemahkan sehingga sistem kekebalan kita bisa mempersiapkan diri melawan kuman yang sesungguhnya jika datang.Â
Dengan mensimulasikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, kita sedang mempersiapkan "kekebalan mental" menghapinya jika memang terjadi.
Jadi, siapkan diri Anda untuk menghadapi skenario terburuk dalam suatu hal. Sampai Anda menyadari, bahwa apa yang kita pikir buruk, tidak lah terlalu ambyar, bukan akhir segalanya dari hidup, dan Anda terlalu lebay selama ini dalam menanggapi hal-hal sepele.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!