Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Seni untuk Berpikir Negatif

10 Oktober 2020   11:37 Diperbarui: 3 Juni 2021   07:29 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mari untuk Sengaja Berpikir Negatif atau Negative Thinking!

Terima saja. Biarkan realita terjadi sebagaimana adanya.

Dan cara yang paling sehat adalah mengakui bahwa realita tidak selalu sama dengan yang kita harapkan.

Pasrah pada Keadaan?

Dikotomi kendali tidak mengajarkan kita untuk pasrah pada keadaan. Tidak sama sekali.

Ini mengajak kita untuk menerima realita terjadi sebagaimana adanya. Dan kita, dapat dengan merdeka menentukan pikiran dan persepsi kita terhadap realita tersebut. Karena jelas, persepsi kita ada dalam kendali kita.

Bayangkan seekor anjing yang terikat lehernya ke sebuah gerobak. Saat gerobak bergerak, anjing ini punya dua pilihan.

Pertama, dia bisa ngotot pergi berlawanan arah dengan gerobak, dengan konsekuensi dia kelelahan, lehernya semakin tercekik, habis nafas, mati.


Kedua, dia bisa memilih untuk berjalan mengikuti ke mana si gerobak membawanya pergi, dengan hasil dia bisa menikmati pemandangan sepanjang jalan, melihat anjing betina untuk diajak bergenit ria, atau menikmati angin sepoy-sepoy di sepanjang jalan.

Mungkin agak kikuk membandingkan anjing dan manusia. 

Tapi poinnya adalah, seburuk apapun realita yang terjadi, kita bisa merdeka menentukan persepsi atau penilaian kita terhadap realita tersebut.

Anda baru saja di-PHK dari tempat kerja? Anda bisa bebas menentukan penilaian Anda. Apakah Anda menganggap itu sebuah bukti bahwa Anda payah, lemah, atau idiot, dengan konsekuensi Anda akan stres atas persepsi itu.

Baca juga: Berpikir Positif Vs Berpikir Negatif di Masa Pandemi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun