Mohon tunggu...
muhamad syarifudin
muhamad syarifudin Mohon Tunggu... Bankir - seorang bankir

Saya seorang bankir yang sudah baik dan ramah.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 1 Prof Apollo " Globalisasi Perpajakan"

29 September 2021   10:34 Diperbarui: 29 September 2021   11:13 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dengan adanya P3B selain menghindarkan dari pengenaan pajak berganda juga memberikan manfaat bagi wajib pajak, yaitu dengan meringankan pajak yang harus dibayar dengan adanya pemotongan pajak (reduced rate). Meskipun demikian, dalam perkembangannya, bilateral tax treaty tersebut semakin banyak dimanfaatkan untuk treaty shopping, yaitu upaya meminimalkan pajak dengan cara memanfaatkan treaty network yang dimiliki suatu negara dengan negara lain, terutama apabila jaringan tersebut juga melibatkan tax haven. 

Treaty shopping adalah penggunaan tax treaty oleh orang yang bukan residen dari kedua negara mitra tax treaty, yang biasanya dilakukan melalui pembentukan perusahaan conduit di salah satu negara mitra tax treaty tersebut (Arnold & McIntyre, 1995). Kemudian Stef van Weeghel (1998) mengatakan bahwa treaty shopping mengandung arti suatu situasi dimana suatu pihak (person) yang tidak berhak mendapatkan fasilitas P3B menggunakan –dalam arti yang paling luas- individual atau legal person lain untuk memperoleh fasilitas P3B yang sebenarnya tidak tersedia langsung untuk pihak (person) tersebut.

Sedangkan dalam konteks P3B Indonesia, treaty shopping tersebut digambarkan sebagai upaya dari Wajib Pajak yang sebenarnya bukan WPDN dari negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia untuk mendirikan suatu badan hukum baru di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia, agar penghasilan yang berasal dari Indonesia itu dapat menikmati fasilitas yang diberikan P3B Indonesia, namun badan tersebut, sebenarnya bukan beneficial owner atas penghasilan dari sumber penghasilan di Indonesia (Mansury, 2006). 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa treaty shopping merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mendapatkan treaty benefit yang disediakan oleh suatu tax treaty oleh subjek pajak yang tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Hal ini disebabkan karena dalam P3B itu sendiri terdapat kesepakatan-kesepakatan khusus antara dua negara dalam hal fasilitas pemajakan yang akan diberikan. Fasilitas yang disediakan tersebutlah yang kemudian mendorong pihak investor untuk melakukan treaty shopping yaitu suatu skema transaksi yang sengaja di desain untuk mendapatkan fasilitas pajak berupa penurunan tarif ataupun pembebasan pajak oleh Subjek Pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana yang disediakan di dalam P3B.

Dengan kata lain, treaty shopping tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan beban pajak yang seminimal mungkin. Treaty shopping biasanya dilakukan dengan mendirikan conduit company, di salah satu negara yang terlibat dalam perjanjian dimana conduit company tersebut dikuasai atau dimiliki oleh penduduk negara ketiga. Karena perusahaan penyalur berdomisili di negara pihak yang mengadakan perjanjian, maka mereka berhak diperlakukan sesuai dengan P3B. Sehingga nantinya investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam taxtrety tersebut. 

Padahal yang berhak menikmati fasilitas berdasarkan suatu P3B adalah WPDN dari dua negara yang mengadakan P3B, yaitu residen dan beneficial owner dari penghasilan yang dieproleh WPDN tersebut. Untuk meminimalkan risiko treaty shopping tersebut, maka Indonesia dapat melakukan renegosiasi P3B untuk memasukan Pasal yang berkaitan dengan pembatasan penggunaan P3B bagi mereka yang melakukan penyimpangan dari tujuan diadakannya P3B, yaitu pasal tentang limitation on benefit (Darussalam, 2015).

  • Globalisasi dan International Tax Avoidance

Adanya interaksi antar sistem perpajakan negara juga telah menyebabkan adanya double non-taxation atau tax avoidance. Tax avoidance atau penghindaran pajak adalah upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan (Pohan, 2016). Dyreng (dalam Pea, 2017) juga mengatakan bahwa tax avoidance merupakan usaha untuk mengurangi atau bahkan meniadakan hutang pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan dengan tidak melanggar undang-undang yang ada. Kemudian Barr dan James (dalam Pea, 2017) mengatakan bahwa tax avoidance merupakan suatu bentuk manipulasi penghasilan secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tax avoidance merupakan upaya penghindaran pajak yang memberikan efek terhadap kewajiban pajak yang dilakukan dalam cara atau teknik yang masih dalam bingkai ketentuan perpajakan (Pea, 2017). Upaya ini merupakan alternatif pilihan dalam perencanaan pajak yang dapat menghemat besarnya pajak yang dibayarkan oleh perusahaan.

Di masa kini, upaya penghindaran pajak tersebut seringkali dilakukan oleh perusahaan multinasional atau perusahan-perusahaan yang beroperasi di berbagai negara. Biasanya metode atau teknik yang digunakan untuk melakukan penghindaran pajak tersebut adalah dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri, untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Hal ini disebabkan karena Perusahaan multinasional dapat melakukan usaha di berbagai negara yang masing-masing mempunyai tata hukum dan hukum pajak tersendiri. Hal ini kemudian menyebabkan perusahaan multinasional memiliki keunggulan atas perusahaan lokal karena memiliki fleksibilitas geografis lebih besar dalam menentukan lokasi produksi dan sistem distribusi, perusahaan multinasional berkesempatan untuk melakukan penghindaran pajak dengan cara memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (internasional tax avoidance).

Seperti misalnya kasus penghindaran pajak yang dilakukan oleh Google, yaitu perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara, diantaranya adalah di Belanda, Irlandia, dan di negara Bermuda seperti yang ada pada skema Double Irish. Ketika suatu perusahaan beroperasi lintas negara, maka akan terjadi perbedaan-perbedaan hukum yang berlaku. Perbedaan hukum tersebut pada akhirnya menciptakan celah-celah (loopholes) yang dapat dimanfaatkan untuk menghindari pajak. Pemanfaatan celah hukum yang berlaku di beberapa negara ini merupakan hal yang legal secara subyektif sehingga penghindaran pajak dapat dikatakan legal untuk dilakukan. Pemanfaatan celah hukum ini juga dilakukan oleh Google, dengan tujuan untuk membayar pajak lebih kecil dari atau bahkan tidak membayar sama sekali atas suatu penerimaan tertentu. Dalam kasus ini Google memanfaatkan celah-celah (loopholes) yang ada dalam undang-undang perpajakan dari berbagai negara dimana perusahaan ini berdiri sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah atau bahkan dapat menghindari pengenaan pajak. Pemanfaatan loopholes ini dimungkinkan, karena bagaimanapun lengkapnya suatu undang-undang, belum tentu mencakup semua aspek yang diinginkan.

Pada dasarnya tindakan tersebut dianggap sebagai penghindaran pajak yang legal (tax avoidance). Meski legal, tindakan tersebut dipandang tidak etis karena bertentangan dengan tujuan pembuatan undang-undang perpajakan, yaitu pajak seharusnya dibayar di negara tempat penghasilan diperoleh. Penghindaran pajak ini jika dipandang secara lebih luas akan mengarah pada meningkatnya ketidaksetaraan di seluruh dunia. Jika fokus yang diberikan kepada bahaya penghindaran pajak kepada masyarakat lebih tinggi daripada bagaimana hal tersebut didefinisikan secara hukum, maka kita dapat melihat bahwa hal itu berkontribusi pada meningkatnya ketidaksetaraan, meningkatkan beban pajak pada pembayar pajak penduduk dan merusak legitimasi negara. Selain itu, akomodasi pemerintah atas struktur-struktur yang memfasilitasi penghindaran pajak juga dapat disalahgunakan oleh mereka yang ingin menyembunyikan uang.

Di sisi lain, perusahaan yang menghindari pajak berarti menghindari kewajiban sosial. Penghindaran pajak dapat membuat perusahaan rentan terhadap tuduhan keserakahan dan keegoisan, merusak reputasinya, dan menghancurkan kepercayaan publik. Membayar pajak dalam jumlah yang sesuai di negara tempat sebuah perusahaan beroperasi dipandang sebagai hal yang bertanggung jawab secara sosial bagi perusahaan untuk melakukannya, hal ini dilakukan dengan menyediakan dana untuk layanan publik seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Ini adalah layanan publik yang diuntungkan oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penghindaran pajak telah dicap oleh sebagian orang sebagai praktik tidak bermoral dan tidak etis yang merusak integritas sistem perpajakan. Karena penghindaran pajak tersebut dapat mengakibatkan kurangnya pendapatan negara dari sektor pajak. Kurangnya pendapatan pajak, pada gilirannya, menghambat pembangunan infrastruktur yang direncanakan oleh pemerintah suatu negara karena dana yang dibutuhkan tidak tercukupi. Oleh karena itu, penyempuranaan peraturan hukum perpajakan internasional perlu dilakukan.

  • Globalisasi, Profit Shifting, dan Isu Tarif Pajak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun