Mohon tunggu...
muhamad syarifudin
muhamad syarifudin Mohon Tunggu... Bankir - seorang bankir

Saya seorang bankir yang sudah baik dan ramah.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 1 Prof Apollo " Globalisasi Perpajakan"

29 September 2021   10:34 Diperbarui: 29 September 2021   11:13 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Tidak hanya sistem atau kebijakan perpajakan, semakin bertambah luasnya dan majunya hubungan ekonomi internasional, makin terasa perlunya diadakan suatu rekonsiliasi jurisdiksi pajak dari negara-negara yang bersangkutan. Dengan adanya rekonsiliasi ini, hak pemajakan masing-masing negara yang terlibat diatur secara tegas, sehingga kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda semakin kecil. Berdasarkan pada hal tersebut, makalah ini akan membahas mengenai fenomena globalisasi perpajakan dalam perspektif teori umum perpajakan itu sendiri.

  • Pembahasan
  • Globalisasi dan Insentif Pajak

Insentif pajak pada dasarnya merupakan suatu bentuk fasilitas perpajakan yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak tertentu berupa penurunan tarif pajak yang bertujuan untuk memperkecil besarnya beban pajak yang harus dibayarkan. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mendefinisikan insentif pajak sebagai segala bentuk insentif yang mengurangi beban pajak perusahaan dengan tujuan untuk mendorong perusahaan – perusahaan tersebut untuk berinvestasi di proyek atau sektor tertentu (Putri D. T., 2021). 

Menurut Winardi (dalam Putri & Iqbal, 2020), insentif pajak adalah pemungutan pajak dengan tujuan memberikan rangsangan untuk menghasilkan pendapatan pemerintah dan juga memberikan dorongan kearah perkembangan ekonomi (Putri & Iqbal, 2020). Sedangkan Zee, Stotsky, dan Ley (2002) mendefinisikan insentif pajak dari 2 (dua) sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang hukum (statutory term) dan dari sudut pandang efektifitas (effective term). Dari sudut pandang statutory term, insentif pajak diartikan sebagai “ketentuan pajak khusus yang diberikan kepada proyek-proyek investasi yang memenuhi syarat yang mewakili penyimpangan yang menguntungkan menurut undang-undang dari ketentuan terkait yang berlaku untuk proyek-proyek investasi secara umum” 

Pengertian ini akan berguna untuk mengklasifikasi insentif pajak. Sedangkan dari sudut pandang effective term insentif pajak diartikan sebagai, “ketentuan pajak khusus yang diberikan kepada proyek investasi yang memenuhi syarat yang memiliki efek menurunkan beban pajak efektif – diukur dengan cara tertentu – pada proyek tersebut, relatif terhadap beban pajak efektif yang akan ditanggung oleh investor tanpa adanya ketentuan pajak khusus. Berdasarkan definisi ini, semua insentif pajak, oleh karena itu, harus efektif”.

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa insentif pajak merupakan suatu fasilitas atau perlakuan khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada investor untuk memperngaruhi perilaku investor sehingga tertarik untuk menanamkan modalnya negaranya. Pemberian insentif pajak tersebut pada umumnya dilakukan dalam empat bentuk, yaitu (a) Pengecualian dari pengenaan pajak; (b) Pengurangan dasar pengenaan pajak; (c) Pengurangan tarif pajak; (d) Penangguhan pajak. Tujuannya adalah untuk memberikan dukungan terhadap perkembangan daerah/ negara, meningkatkan investasi yang menyerap tenaga kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran atau untuk memperkerjakan orang-orang dengan spesifikasi tertentu, menarik investasi yang akan membawa peningkatan teknologi atau aktivitas penelitian dan pengembangan, maupun merangsang perkembangan industri, baik yang berorientasi pada ekspor maupun impor (Putri D. T., 2021). 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian insentif pajak tersebut juga dilakukan guna mendorong atau menarik investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mendorong dan mempercepat pembangunan nasionalnya sehingga dapat meningkatkan daya saing yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal ini disebabkan karena seperti yang telah dikatakan bahwa globalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini telah menimbulkan efek kompetitif dalam bidang produksi dari masing-masing negara. Yang pada akhirnya, globalisasi perdagangan ekonomi tersebut juga telah menimbulkan adanya kompetisi untuk menarik investasi ke dalam masing-masing negara dengan menurunkan tarif pajak korporasi atau memberikan insentif pajak (Darussalam, 2015).

  • Globalisasi dan Treaty Shopping

Pada dasarnya masing-masing negara memiliki kedaulatan untuk menentukan sistem pajaknya masing-masing. Namun interaksi antar sistem perpajakan negara di era globalisasi saat ini juga telah menyebabkan adanya double non-taxation, dimana suatu penghasilan residen dari negara A yang berdomisili B menjadi hak pemajakan pemerintah di negara A dan B. konflik atas hak pemajakan tersebut kemudian mendorong organisasi multilateral, seperti OECD dan UN membuat suatu bentuk model perjanjian penghindaran pajak berganda (bilateral tax treaty). 

Hal ini juga dilakukan oleh Indonesia, yang mana saat ini Indonesia telah membuat perjanjian bilateral mengenai P3B dengan 70 negara. Tax treaty ini pada umumnya dibuat untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan mencegah lolosnya Wajib Pajak dari pengenaan pajak (Bustamar Ayza, 2016). Tax treaty juga pada dasarnya memberikan pengaturan terhadap barang ekspor seperti dengan adanya Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) adalah merupakan sertifikasi asal barang, dimana dinyatakan dalam sertifikat tersebut bahwa barang/komoditas yang diekspor adalah berasal dari daerah/negara pengekspor.

Bagi negara berkembang, seperti Indonesia, bilateral tax treaty ini cenderung lebih mengarah kepada upaya pemberian sinyal kepada dunia internasional bahwa pemerintahan mereka pro terhadap investasi dan tunduk kepada pola permainan yang telah dijadikan konsesus secara global. Manfaat utamanya adalah adanya sinkronisasi kerangka pemajakan atas penghasilan-penghasilan yang lintas yurisdiksi. 

Dimana pendapatan atau keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan internasional seperti investasi yang melintasi batas negara dapat dikenakan pajak di mana pendapatan tersebut diperoleh (source country), atau di mana orang yang menerimanya tinggal (resident country). Pemajakan pada resident country didasarkan pada prinsip bahwa orang tersebut harus berkontribusi terhadap layanan publik yang diberikan kepada mereka oleh negara tempat mereka tinggal, atas semua pendapatan mereka dari mana pun asalnya. Sedangkan pemajakan pada source country dibenarkan oleh pandangan bahwa negara yang memberikan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan atau keuntungan harus memiliki hak untuk mengenakan pajak.

Pendapatan yang didapatkan dari kegiatan internasional pada dasarnya akan menempatkan penerima manfaat sebenarnya (beneficial owner) dari pendapatan tersebut sebagai wajib pajak (Barata, 2011). Berdasarkan pada PPh Pasal 26 maka penerima penghasilan yang bukan agen, yang bertindak sebagai nominee dan perusahaan conduit adalah beneficial owner yang dipotong Pajak Penghasilannya sebesar tarif yang tercantum dalam P3B dengan negara mitra. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun