Kelopak bunga itu bergetar halus, seolah mendengar.
2. Kota yang Tidak Mengenal Tenang
Dua minggu kemudian, Sinta membawa ibunya ke kota. Dengan bantuan tetangga, mereka menumpang mobil bak terbuka menuju rumah sakit besar di Makassar. Kota itu terasa asing baginya: gedung menjulang, lampu menyilaukan, orang-orang bergegas tanpa sempat saling menatap. Bagi gadis desa yang terbiasa dengan suara serangga dan aliran sungai, dunia ini seperti hutan besi.
Di ruang pemeriksaan, seorang dokter muda memperhatikan hasil rontgen Bu Ratmi. Wajahnya serius, tapi lembut.
Namanya dr. Arkan Mahesa, lulusan baru yang sedang meneliti terapi sel paru berbasis tumbuhan.
"Penyakit Ibu sudah cukup berat," katanya hati-hati. "Tapi masih ada peluang kalau sistem imun bisa diperkuat dan sel parunya bisa diregenerasi."
Sinta menatap dokter itu dengan harapan. "Apakah ada obatnya, Dok?"
Arkan menggeleng pelan. "Belum ada yang benar-benar manjur. Tapi saya sedang meneliti senyawa dari beberapa tanaman endemik Sulawesi. Kadang, alam menyimpan rahasia yang tidak kita sangka."
Sinta termenung sejenak. Kata-kata itu mengingatkannya pada ucapan ayahnya dulu.
Ia lalu berkata lirih, "Dok, saya punya bunga yang mungkin... bisa membantu."
Arkan tersenyum sabar, mengira gadis itu hanya berpegang pada keajaiban. Namun ketika Sinta membuka kain pembungkus pot tanah liat yang dibawanya, cahaya biru kehijauan yang lembut langsung memenuhi ruangan. Arkan menatapnya tertegun.
"Astaga... ini luminesensi alami?" katanya setengah berbisik.
Ia menunduk memeriksa kelopak bunga itu, memotret dengan alat sederhana, dan tampak terpukau.
"Boleh saya uji sedikit, untuk penelitian? Saya belum pernah melihat struktur sel seperti ini."