Sinta mengangguk, dengan satu syarat: "Tolong jangan jual atau sembunyikan, Dok. Saya hanya ingin Ibu sembuh."
Arkan menatapnya lama. "Saya janji, Sinta."
3. Cahaya di Balik Mikroskop
Beberapa hari kemudian, di laboratorium universitas tempat Arkan bekerja sambil mengajar, ia meneliti ekstrak kelopak bunga itu dengan mikroskop fluoresensi. Hasilnya mengejutkan: jaringan bunga Mata Kucing mengandung senyawa luminoferin bioaktif, gabungan kompleks protein-fotosensitif dan ion seng alami. Senyawa itu memancarkan foton mikro yang mampu merangsang regenerasi sel paru dan saraf tanpa merusak jaringan lain.
Ia menulis dalam catatannya:
"Bunga Mata Kucing --- kemungkinan spesies Campanula noctilucens. Efek penyinaran pada jaringan paru menunjukkan peningkatan aktivitas mitokondria sebesar 67% dalam waktu 48 jam. Tidak ada toksisitas terdeteksi."
Keesokan harinya, Arkan kembali menemui Sinta dan menjelaskan temuannya. Gadis itu mendengarkan sambil menggenggam tangan ibunya.
"Jadi bunga itu... benar-benar bisa menyembuhkan?" tanya Sinta.
"Secara ilmiah, potensinya luar biasa," jawab Arkan. "Saya ingin mencoba terapi uapnya, tapi harus dengan izin penuh dari Anda."
Sinta menatap bunga itu yang kini ditempatkan di dalam tabung kaca berisi air murni. "Kalau ini bisa membuat Ibu sembuh, lakukanlah, Dok."
Dalam tiga hari, Arkan dan timnya mengembangkan metode aerosol bio-luminoferin, mengubah zat dari bunga itu menjadi uap halus untuk dihirup. Uji awal dilakukan pada jaringan paru hewan laboratorium---hasilnya positif, sel yang rusak membaik. Maka mereka mencoba pada pasien pertama: Bu Ratmi.
Hari pertama, tidak ada perubahan berarti. Hari kedua, napasnya mulai stabil. Hari ketiga, batuknya berkurang drastis. Dan pada hari ketujuh, dokter rumah sakit memastikan bahwa paru-parunya mulai bersih dari infeksi.
Sinta menangis haru memeluk ibunya. Arkan tersenyum di balik masker, tapi dalam dadanya, ada sesuatu yang bergetar---antara keajaiban dan ilmu pengetahuan, antara rasa kagum dan rasa ingin melindungi.