"Ini bukan sekadar fotosintesis," tulisnya.
"Ini simbiosis antara kasih manusia dan cahaya alam."
Sinta membaca laporan itu dengan mata berbinar. Ia teringat ayahnya, yang dulu sering berbicara kepada bunga-bunga seperti teman. Kini ia mengerti: cinta yang tulus bisa menjadi energi penyembuh yang nyata.
6. Bunga, Kota, dan Cinta yang Tumbuh
Setelah Bu Ratmi sembuh total, ia memutuskan tinggal sementara di kota bersama Sinta. Arkan membantu mereka menemukan rumah kecil dekat kampus. Dari situ, Sinta mulai ikut dalam laboratorium riset Arkan sebagai asisten lapangan. Ia belajar tentang biologi, kimia tanaman, dan cara menulis laporan ilmiah.
Setiap kali bekerja, Arkan teringat wajah Sinta yang tenang, seperti bunga yang sedang menunggu matahari. Ia tak bisa menyangkal bahwa perasaannya mulai tumbuh. Tapi ia takut mengatakannya; baginya, cinta harus setulus cahaya bunga itu---tidak memaksa, hanya memberi kehangatan.
Suatu malam, setelah berhari-hari lembur, mereka berjalan di taman kota. Hujan baru saja reda, dan Arkan membawa satu pot kecil berisi anakan bunga Mata Kucing yang berhasil dibiakkan.
"Lihat," katanya, "anakannya juga mulai bercahaya."
Sinta tersenyum, menatap cahaya biru yang menari di antara tetes air.
"Aneh ya, Dok. Di desa, bunga itu tumbuh karena cinta Ayah pada alam. Di kota, bunga ini tumbuh karena kerja keras dan ilmu. Tapi keduanya sama-sama membuatnya hidup."
Arkan menatapnya lembut. "Mungkin begitu juga manusia, Sinta. Kita butuh kasih dan ilmu agar bisa menyembuhkan dunia."
Malam itu, di bawah langit yang mulai terang kembali, bunga itu bersinar lebih kuat dari sebelumnya. Cahaya biru itu memantul di mata mereka, seolah mengukir janji yang tak terucap.
7. Pulang ke Lembah Sore
Tiga tahun kemudian, Lembah Sore berubah. Pemerintah mendirikan Pusat Konservasi Bunga Mata Kucing yang dikelola oleh universitas. Arkan menjadi kepala riset, sementara Sinta memimpin taman pembibitan. Banyak peneliti datang, tetapi mereka tetap menjaga satu hal: bunga itu tidak dijadikan komoditas.