Cahaya dari Bunga Mata Kucing
Karya Muhalbir
1. Lembah Sore dan Warna Cahaya yang Tidak Biasa
Lembah Sore adalah sebuah desa kecil di kaki bukit yang setiap senja selalu diselimuti warna jingga keemasan. Di sana, suara jangkrik menyatu dengan desir angin sawah, dan aroma tanah basah berpadu dengan wangi bunga liar. Di ujung lembah itu, berdiri rumah panggung sederhana milik Sinta, seorang gadis berusia dua puluh tahun yang mewarisi cinta pada tanaman dari mendiang ayahnya, Pak Ranu, seorang guru biologi dan peramu tumbuhan.
Sejak kecil, Sinta sudah terbiasa mendengar ayahnya berbicara lembut di antara barisan tanaman, seolah bunga dan daun adalah murid-murid yang juga perlu diajari cara hidup. Namun dari semua bunga di halaman rumahnya, ada satu yang paling istimewa---bunga kecil berkelopak biru lembayung yang bersinar lembut di malam hari. Orang-orang desa menamainya Bunga Mata Kucing, sebab pancaran cahayanya menyerupai mata kucing yang memantulkan sinar bulan.
Ayahnya pernah berkata:
"Sinta, bunga ini tidak hanya indah. Ia bisa merasakan kesedihan manusia. Jika dirawat dengan kasih, ia akan memancarkan cahaya yang mampu menenangkan hati siapa pun yang memandangnya."
Kala itu Sinta hanya tersenyum polos. Ia belum mengerti betapa dalam makna kata-kata itu.
Setelah ayahnya meninggal tiga tahun kemudian karena sakit paru-paru, Sinta tetap merawat bunga itu. Di sela kesibukannya membantu ibunya membuat jamu, ia selalu memastikan kelopak bunga Mata Kucing tidak layu. Bunga itu tumbuh di dalam pot tanah liat, di bawah sinar matahari pagi dan embun yang jernih.
Desa mereka jauh dari hiruk pikuk kota. Namun di bawah langit cerah, kabar tentang "bunga yang bercahaya di malam hari" mulai menarik perhatian. Orang-orang yang datang ke pasar desa sering menanyakan bunga itu---sebagian ingin membelinya, sebagian hanya ingin melihatnya. Tapi Sinta tidak pernah menjualnya.
"Ayah berpesan, bunga ini harus dijaga sampai dunia benar-benar siap memahami artinya," ujarnya lembut.
Ibunya, Bu Ratmi, tersenyum samar setiap kali mendengar Sinta berkata begitu. "Ayahmu memang suka bicara seperti ilmuwan yang puitis," katanya. Tapi di balik senyumnya, tersimpan kesedihan: penyakit yang dideritanya semakin parah. Sejak beberapa bulan terakhir, ia sering batuk disertai demam dan nyeri dada. Obat dari puskesmas hanya memberi sedikit kelegaan.
Suatu malam, saat hujan turun pelan, Sinta mendapati ibunya terbaring lemah. Ia menangis dalam diam di samping bunga Mata Kucing yang berkilau lembut di jendela. Cahaya bunga itu seperti bergetar mengikuti degup hatinya yang cemas.
"Tolong, Bunga... seperti kata Ayah, sembuhkanlah yang kucintai..." bisiknya.