Sambil melangkah meninggalkan kedai itu, benakku diselimuti kebingungan: sebenarnya, apakah aku sedang pulang ke rumah atau meninggalkan rumah?
Serabi Bu Sri Yatno yang Nostalgik
Serabi Bu Sri Yatno pertama kali kunikmati pada sebuah pagi di tahun 2000. Bulikku yang membelikannya waktu itu. Tentang bagaimana seorang lelaki Batak bisa punya bulik, gak usah kepo-lah.
Aku sangat terkesan dengan rasanya yang gurih dan manis serta teksturnya yang lembut. Aroma wanginya, dengan semriwing bau gosong dari pinggirannya yang garing, sungguh menggoda lidah.
Dua tahun kemudian, ketika berkunjung ke Solo untuk kedua kalinya, aku pergi sendiri membeli serabi itu langsung ke angkringan Bu Sri Yatno. Waktu itu tempatnya di trotor sisi timur, di ujung utara jembatan Kali Pepe, Jalan Arifin. Kira-kira 100 meter jaraknya dari Kedai Bali.
Sejak itu, sampai April 2025 yang lalu, aku tak lagi menemukan Bu Sri Yatno dan serabinya di tempat itu. Ada juga seorang ibu yang menjajakan makanan lain: cabuk rambak. Aku belum tertarik mencobanya.
"Sudah pindah ke Widuran. Di seberang Pegadaian. Dekat lampu merah." Bulikku memberi tahu.Â
Hitung-hitung olahraga, pagi-pagi benar aku berjalan kaki mencari serabi Bu Sri Yatno. Menyusuri Jalan Wentar ke timur, lalu belok kiri menyusur trotoar Jalan Arifin ke arah utara. Tiba di lampu merah perempatan Widuran, menyeberang jalan, nah, belok kanan sedikit ketemulah angkringan serabi Bu Sri Yatno.
"Sudah lama saya pindah ke sini." Bu Sri Yatno menjawab pertanyaanku tentang lokasinya kini. "Sejak Jalan Arifin menjadi satu arah," dia melanjutkan, tanpa menyebut tahun. "Pembeli berkurang karena malas muter-muter. Jadi saya pindah ke sini." Begitulah alasan pindah lokasi itu.
"Tolong dibungkuskan sepuluh serabi, Bu." Aku memesan.Â
Aku harus menunggu, karena jumlah serabi matang tinggal empat buah. Pantanganku berdiri menunggu tanpa tanya ini dan itu.