Aku mengambil tempat duduk di trotoar, seberang kedai itu. Kedai itu, seperti juga warung-warung lainnya, telah memanfaatkan trotoar di sisi kiri dan kanan Jalan Wentar sebagai ruang duduk untuk tetamu kedai.Â
Di atas trotoar tempatku duduk, disediakan meja pendek untuk pengunjung yang ingin lesehan. Tapi sore itu, karena kedai sudah tutup, taplak meja dan tikar lesehan sudah digulung. Karena itu, aku duduk saja di atas meja, menanti kopi diseduh dan disajikan.
"Monggo, Pakde." Secangkir kopi hitam disajikan anak gadis yang ramah dan, karena itu, manis di atas meja rendah.Â
"Inggih, Mbak. Matur nuwun." Dia layak mendapat ucapan terimakasih. Bukan saja atas keramahannya, tapi juga karena kesediaannya menyeduhkan secangkir kopi untukku di saat kedai telah tutup.
Aku menyeruput kopi panas itu sedikit. Pahitnya nikmat, melunturkan rasa lelah sejak naik kereta pagi dari Senen.
Aku mengamati sekeliling tempatku duduk. Trotoar itu telah ditata menjadi sebuah taman yang asri. Nuansa hijau segar tidak saja diberikan oleh pepohonan di trotoar. Tapi juga berbagai tanaman hias dalam pot-pot yang tersusun serasi. Juga tanaman hias yang menempel di batang pohon.
Pada siang hari, sampai menjelang sore, tempat ini ramai oleh pelanggan. Mereka makan siang di situ atau sekadar ngopi atau ngeteh. Ada banyak jenis menu disediakan, antara lain soto, kare, sop, pecel, dan sambel goreng tumpang. Juga aneka gorengan, semisal tempe, tahu, dan martabak. Tentu saja, aneka minuman pun tersedia.
Pada sore menjelang senja itu, hanya ada seorang pengunjung kedai: aku.
"Rasanya seperti pulang ke rumah pada sore hari. Lalu melepas lelah di taman belakang, ditemani secangkir kopi hitam." Aku membatin. Sungguh, mampir di kedai itu terasa seolah pulang ke rumah.
"Tiga ribu, Pakde," jawab gadis ramah itu ketika aku hendak membayar secangkir kopi yang sudah tuntas. Aku pikir itu bukan harga sebenarnya. Di kafe kopi Jakarta aku harus membayar minimal Rp 30,000 untuk secangkir kopi yang harus diminum di tempat yang "bukan rumah".