"Bagus, bagus sekali. Siapa yang bisa menyebutkan sila keempat Pancasila?"
"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan," jawab Tiur lantang.
"Coba beri satu contoh penerapan sila keempat dalam kehidupan orang Batak."
Semua diam. Â Tak ada jawaban. Â Itu pertanyaan di luar dugaan anak-anak kelas lima SD Hutabolon.Â
"Ayo, tidak ada yang tahu?" Sekali lagi Pak Penilik mengumbar senyum tipisnya, seolah mengejek. Â "Bagaimana ini, Pak Guru?" Dia menoleh kepada Guru Harbangan. Â Sambil tetap tersenyum tipis. Â
Lagi, Guru Harbangan gelisah. Â Roman mukanya agak memerah, seperti menahan malu.
"Martonggo raja, Pak Penilik!" Tiba-tiba Poltak menjawab tegas, tanpa sedikitpun nada ragu.
"Martonggo raja?" Â Pak Penilik agak tersentak. Tak menyangka Poltak bisa menjawabnya. Tapi dia merasa perlu menguji anak itu. Â "Bisa kau jelaskan, Nak?"
"Kegiatan martonggo raja itu dihadiri raja-raja adat yang bijaksana.  Ada raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu, dan raja ni boru. Dalihan na Tolu lengkap. Mereka bermusyawarah.  Untuk menyepakati cara pelaksanaan suatu kegiatan adat.  Misalnya adat perkawinan."Â
Pak Penilik tahu dia tak bisa menyangkal kebenaran jawaban Poltak. Â Poltak sendiri yakin kebenaran kata-katanya. Â Itulah yang diajarkan mendiang kakeknya dulu.
"Baiklah," kata Pak Penilik, membenarkan Poltak. Â "Sekarang, agar adil, kalian boleh bertanya balik pada Bapak," lanjutnya, membuka kesempatan bertanya untuk anak-anak. Â Masih tetap dengan senyum tipisnya.