Pertandingan Terakhir: Roro Kecik vs Putri Kenanga
Langit di atas lapangan kerajaan mendung seolah tahu bahwa pertandingan kali ini bukan sekadar adu kecakapan. Penonton diam. Bahkan angin pun berembus pelan, seakan menahan napas.
Putri Kenanga duduk di seberang papan dakon, mengenakan selendang kebesarannya, tapi mata dan hatinya jauh dari kebesaran itu. Ia menatap Roro Kecik --- bukan sebagai lawan, tapi sebagai cermin. Cermin yang menampakkan kenangan yang dikubur selama sepuluh tahun.
Sementara Roro Kecik, dengan tenang, membuka papan dakonnya yang sederhana. Kayu tua dengan garis retak di sisi utara. Tapi penuh makna. Dibawanya dari Ngrandu, dari sawah dan sungai, dari mimpi para tetua desa. Papan itu kini duduk di antara dua jiwa yang saling mencari.
Giliran pertama, milik Putri.
Langkah Putri Kenanga indah dan berwibawa. Bijinya jatuh seperti nada gamelan. Tapi Roro Kecik membalas tanpa takut. Tangannya kecil, tapi gerakannya luwes dan berani.
Mereka saling bertukar serangan, mengatur siasat, menipu dan memancing. Namun, semakin permainan berlangsung, semakin permainan ini berubah jadi dialog diam antara dua hati. Mata mereka mulai menyelami satu sama lain.
Putri Kenanga mulai gemetar. Ia mulai melihat kilatan wajah mendiang suaminya di raut Roro Kecik. Lalu kilatan wajah bayi kecil yang pernah hilang dalam hidupnya. Hatinya mulai bergetar. Ia mulai kehilangan kendali.
Satu giliran, Roro Kecik membuat langkah melingkar yang sangat tak terduga. Sebuah taktik yang biasa digunakan oleh Ayahnya, Pangeran Abimanyu, semasa hidupnya.
Putri Kenanga membeku.
> "Langkah itu... Langkah itu... tak mungkin... hanya satu orang yang pernah---"
Tangan Putri menggigil. Dadanya sesak.
Dan tanpa sadar --- entah karena emosi, ketakutan, atau gelombang kenangan yang meledak --- tangan Putri Kenanga menghantam papan dakon Roro Kecik. Braakkk!
Papan dakon itu pecah.
Separuh biji berhamburan ke tanah. Kayu tua itu terbelah. Waktu berhenti. Semua penonton terdiam, para prajurit menahan napas. Roro Kecik hanya memandang diam... matanya berkaca-kaca, bukan karena marah... tapi karena kehilangan.
Putri Kenanga tertegun. Ia melihat retakan papan itu... seperti retakan hatinya sendiri. Lalu perlahan, ia jatuh terduduk, menangis di hadapan Roro Kecik.
> "Maafkan aku... Aku... Aku tidak tahu kenapa... Tapi melihatmu... rasanya seperti bertemu dengan sesuatu yang telah hilang begitu lama..."
Roro Kecik menatap Putri itu... dan perlahan menjawab lirih:
> "Kalau itu perasaan yang sama... mungkin aku juga pernah kehilangan seseorang... Tapi aku tidak tahu siapa..."
Di kejauhan, Mahapatih memandang dengan mata basah. Raja Talasindra berdiri gemetar. Para tetua saling berpandangan.
> Dan tiba-tiba, si Mbok dari Ngrandu maju. Ia berteriak:
> "Kalau begitu... biarlah kebenaran dibuka!"
Ia mengangkat liontin kecil dari leher Roro Kecik --- sebuah perhiasan emas tua yang selama ini digantungkan padanya, satu-satunya peninggalan sejak ditemukan hanyut di sungai sepuluh tahun silam.
Putri Kenanga menjerit melihat liontin itu.
> "Itu... itu milik bayi perempuanku! Itu... putriku!"
Suasana meledak. Tangis. Teriakan. Sorak dan isak bercampur. Raja menjatuhkan tongkatnya, memeluk Putri Kenanga yang tersungkur memeluk Roro Kecik.
> Sayembara berakhir. Bukan dengan kemenangan atau kekalahan. Tapi dengan pertemuan. Dan dengan pengakuan.
Roro Kecik tak hanya menjadi harapan bagi desa Ngrandu, tapi juga terungkap sebagai darah kerajaan yang sempat terbuang oleh konspirasi.
Dan papan dakon yang patah... kini menjadi pusaka baru. Simbol dari dua dunia yang akhirnya bertemu --- dunia rakyat dan dunia istana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI