Pertandingan Terakhir: Roro Kecik vs Putri Kenanga
Langit di atas lapangan kerajaan mendung seolah tahu bahwa pertandingan kali ini bukan sekadar adu kecakapan. Penonton diam. Bahkan angin pun berembus pelan, seakan menahan napas.
Putri Kenanga duduk di seberang papan dakon, mengenakan selendang kebesarannya, tapi mata dan hatinya jauh dari kebesaran itu. Ia menatap Roro Kecik --- bukan sebagai lawan, tapi sebagai cermin. Cermin yang menampakkan kenangan yang dikubur selama sepuluh tahun.
Sementara Roro Kecik, dengan tenang, membuka papan dakonnya yang sederhana. Kayu tua dengan garis retak di sisi utara. Tapi penuh makna. Dibawanya dari Ngrandu, dari sawah dan sungai, dari mimpi para tetua desa. Papan itu kini duduk di antara dua jiwa yang saling mencari.
Giliran pertama, milik Putri.
Langkah Putri Kenanga indah dan berwibawa. Bijinya jatuh seperti nada gamelan. Tapi Roro Kecik membalas tanpa takut. Tangannya kecil, tapi gerakannya luwes dan berani.
Mereka saling bertukar serangan, mengatur siasat, menipu dan memancing. Namun, semakin permainan berlangsung, semakin permainan ini berubah jadi dialog diam antara dua hati. Mata mereka mulai menyelami satu sama lain.
Putri Kenanga mulai gemetar. Ia mulai melihat kilatan wajah mendiang suaminya di raut Roro Kecik. Lalu kilatan wajah bayi kecil yang pernah hilang dalam hidupnya. Hatinya mulai bergetar. Ia mulai kehilangan kendali.
Satu giliran, Roro Kecik membuat langkah melingkar yang sangat tak terduga. Sebuah taktik yang biasa digunakan oleh Ayahnya, Pangeran Abimanyu, semasa hidupnya.
Putri Kenanga membeku.