Semua channel internasional menyoroti Tragedi Affan Kurniawan dan Api yang Menyala di 11 Kota  sejak malam tadi hingga pagi ini. Apakah permintaan maaf presiden dan kunjungan melayat ke rumah duka cukup? Apakah api di 11 kota yang telah menyala tak cukup?
Ketika Negara Menjadi Asing
"Saya hanya ingin pulang." Â
Itulah kalimat terakhir yang sempat terdengar dari Affan Kurniawan, 21 tahun, pengemudi ojek online, sebelum tubuhnya dilindas kendaraan taktis Barracuda milik Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis malam, 28 Agustus 2025.
Ia bukan demonstran. Ia bukan provokator. Ia hanya anak muda yang sedang mengantar pesanan makanan, menembus malam demi penghasilan harian. Tapi malam itu, jalanan bukan milik rakyat. Malam itu, negara sedang menebar ketakutan.
Affan: Nama yang Menjadi Simbol
"Itu cita-cita anak saya, Pak. Dia ingin belikan rumah buat saya." Â
-Erlina, ibu Affan Kurniawan
Jenazah Affan diantar ribuan pengemudi ojol ke TPU Karet Bivak. Di sepanjang jalan, spanduk dan poster bertuliskan "Justice for Affan" berkibar di antara helm dan jaket hijau. Di media sosial, tagar #IndonesiaGelap dan #AffanKurniawan menjadi sirene digital yang tak kunjung padam.
"Cukup anak saya yang jadi korban. Saya mohon jangan anarkis. Saya serahkan keadilan pada hukum." Â
Baca juga: Paradoks Indonesia; Saat Rakyat Susah Membeli Beras, Petinggi Bergelimang Fasilitas Kemewahan-Zulkifli, ayah Affan
Indonesia di Mata Dunia: Sorotan Tajam dan Tak Terbantahkan
Dalam 24 jam terakhir, media internasional menyoroti tragedi Affan Kurniawan dan gelombang protes di Indonesia dengan intensitas luar biasa:
- Al Jazeera menulis: "Protests resume in Indonesia's Jakarta after ride-share driver killed" menyoroti kematian Affan sebagai pemicu utama kemarahan publik, serta tuntutan keadilan dan pencabutan tunjangan DPR.
- Associated Press (AP)Â melaporkan: "Tensions soar across Indonesia as protests against police erupt in multiple cities" menyoroti penggunaan water cannon, gas air mata, dan penahanan aparat.
- ABC Australia menyebut: "Indonesia's democracy faces setback" mengaitkan bentrokan aparat dengan kemunduran demokrasi.
- CNN International dan Taiwan Plus menyoroti gerakan #IndonesiaGelap sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap kepemimpinan dan sistem representasi.
Gambar-gambar dari lapangan, Affan yang dimakamkan diiringi ribuan ojol, kobaran api di depan DPRD, dan mahasiswa membentangkan kain putih bertuliskan nama-nama korban telah menjadi headline dunia. Indonesia sedang diuji bukan hanya oleh rakyatnya, tapi oleh sorotan global.
Presiden Melayat: Gestur yang Menyentuh, Tapi Belum Menjawab
Pada Jumat malam, Presiden Prabowo Subianto datang langsung ke rumah duka Affan Kurniawan. Ia memeluk sang ibu, menyampaikan belasungkawa, dan menyatakan bahwa pemerintah akan menjamin kehidupan keluarga korban. Ia juga menyampaikan permintaan maaf atas tragedi yang terjadi.
Namun, bagi sebagian masyarakat dan pengamat, gestur itu belum cukup. Direktur PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, menyebut bahwa permintaan kepercayaan dari Presiden lahir dari ketakutan, bukan pengakuan atas kegagalan struktural.Â
"Permintaan maaf adalah bentuk paling dasar dari tanggung jawab. Tapi Prabowo tidak memilih itu sebagai pengakuan publik. Ia memilih posisi netral, seolah hanya pengamat," ujarnya.
Bagi rakyat yang sedang berduka dan marah, pelukan dan janji belum menyentuh akar. Yang dibutuhkan bukan hanya pelayanan, tapi keberanian untuk mengakui bahwa sistem telah melukai.
Apakah Permintaan Maaf Presiden Cukup?
Presiden Prabowo telah melayat dan menyampaikan permintaan maaf. Tapi seperti yang disampaikan oleh Aliansi Perempuan Indonesia, gestur itu belum menyentuh akar. Mereka menyebut kematian Affan sebagai "simbol kekerasan negara yang sistematis".
Komjen Imam Widodo, Dankor Brimob, juga menyampaikan permintaan maaf dengan suara bergetar dan menegaskan tanggung jawab moral. Tujuh anggota Brimob telah dijatuhi sanksi penempatan khusus selama 20 hari.
Namun, publik bertanya: Â
Apakah 20 hari cukup untuk nyawa yang hilang? Â
Apakah pelukan dan janji cukup untuk luka yang membara?
Apakah Api di 11 Kota Tak Cukup?
Dari Jakarta ke Makassar, dari Medan ke Surakarta, rakyat telah menyala. Mereka tidak hanya menuntut keadilan untuk Affan, tapi untuk semua yang pernah dilindas oleh sistem yang tak berpihak.
"Kami tidak akan pulang sebelum ada kejelasan." Â
-Orasi mahasiswa di depan Polda Metro Jaya
Api itu bukan sekadar simbol amarah. Ia adalah bahasa rakyat yang tak lagi punya saluran resmi. Dan jika negara hanya menjawab dengan gestur, bukan reformasi, maka nyala itu akan terus menyebar.
"Kalau satu nyawa tak cukup untuk mengubah sistem, berapa lagi yang harus hilang?" Â
-Poster aksi di Surabaya
Hari Jumat, 29 Agustus 2025, Indonesia berubah wajah. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Medan hingga Surakarta, rakyat turun ke jalan. Tapi ini bukan demonstrasi biasa. Ini adalah ledakan emosi kolektif yang telah lama terpendam.
Di Jakarta, massa menjebol gerbang DPR RI, membakar kendaraan di depan Mako Brimob Kwitang. Â
Di Makassar, Gedung DPRD dibakar. Wali Kota Munafri Arifuddin dievakuasi dengan sepeda motor. Â
Di Medan, mahasiswa dan pengemudi ojol bentrok dengan aparat di depan DPRD Sumut.
Di Surakarta, demonstran menduduki alun-alun dan membentangkan kain putih bertuliskan "Negara Gagal Lindungi Rakyat".
Di balik wajah negara yang menjanjikan perlindungan, tersembunyi statistik yang tak bisa lagi disembunyikan. Sepanjang tahun 2025, Indonesia mencatat lebih dari seribu kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil.Â
Tapi angka itu bukan sekadar bilangan, ia adalah tubuh-tubuh yang dipukul, suara-suara yang dibungkam, dan harapan-harapan yang dilindas.
"Kami tidak lagi tahu siapa yang melindungi kami. Ketika seragam menjadi ancaman, ke mana lagi rakyat harus berlindung?" Â
-Testimoni anonim dari korban aksi di Medan
"Dia cuma lewat, antar makanan. Bukan demonstran. Tapi dilindas begitu saja." Â
-Hafidz, rekan ojol
Tuntutan Mahasiswa: Dari UI ke Seluruh Nusantara
Di tengah kobaran api dan suara sirene, suara mahasiswa menggema dari kampus ke jalanan. Lima tuntutan utama mereka:
1. Copot Kapolri dan Kapolda Metro Jaya. Â
2. Hukum aparat pelaku kekerasan dan pembunuhan. Â
3. Bebaskan seluruh massa aksi yang ditahan.Â
4. Reformasi institusi Polri secara menyeluruh. Â
5. Akui dan tanggung jawab atas kematian Affan.
Analisis Historis: Dari Reformasi ke Repetisi
Dua puluh tujuh tahun setelah Reformasi 1998, Indonesia kembali berada di persimpangan. Dulu mahasiswa menuntut turunnya Soeharto. Kini rakyat menuntut agar negara berhenti menginjak mereka.
Tragedi Affan bukan insiden. Ia adalah akumulasi:
- Ketimpangan ekonomi yang makin dalam. Â
- Represi aparat yang makin brutal. Â
- Ketidakpercayaan terhadap institusi yang makin meluas.
Dan yang paling menyakitkan: hilangnya rasa aman di tanah sendiri.
Penutup: Saat Negara Menjadi Asing
"Demokrasi bukan sekadar hak bicara. Ia adalah janji bahwa suara rakyat tak akan diinjak oleh roda kekuasaan."
Affan ingin pulang. Tapi negara tak memberinya jalan. Â
Kini, rakyat turun ke jalan bukan untuk membakar, tapi untuk menyala. Â
Karena ketika negara menjadi asing, rakyatlah yang harus menjadi rumah bagi satu sama lain.
Penulis: Merza Gamal (Anak Bangsa yang Ikut Berduka)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI