Counter-Reflection: Saat Tarif Jadi Senjata dan BRICS Jadi Ujian
Di tengah masa istirahat yang saya jalani karena kondisi kesehatan, perhatian saya justru terarah pada dinamika global yang kian memanas.Â
Artikel saya sebelumnya tentang ancaman tarif Presiden Donald Trump terhadap negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, telah menimbulkan beragam respons, termasuk dari mesin analisis cerdas seperti MetaAI.Â
Komentar itu menarik---rapi, sistematis, dan penuh harapan, namun sayangnya mengandung data yang kurang akurat. Di situlah letak persoalannya.
Dunia tidak lagi beroperasi dalam batas-batas teori ekonomi klasik. Tarif kini bukan sekadar kebijakan fiskal, tetapi telah berubah menjadi senjata geopolitik. Jika kita tak membacanya dengan jernih, kita akan terjebak dalam narasi normatif yang meninabobokan.
Realitas Baru: BRICS Dipukul, Indonesia Disentil
Presiden Donald Trump, dalam gayanya yang frontal, tidak hanya mengancam akan menaikkan tarif 10% bagi negara-negara BRICS. Ia bahkan menyebut bahwa aliansi itu akan bubar jika "terlalu serius." Di balik kalimat sinis itu, ada strategi nyata: menggoyang struktur kekuatan baru yang dianggap mengancam dominasi lama.
Indonesia, yang mulai menunjukkan ketertarikan untuk bergabung dengan BRICS, langsung masuk radar. Tarif 32% yang konon 'dikorbankan' menjadi 19%, kini bisa kembali membengkak menjadi 29% jika kita nekat memilih jalan berseberangan. Ini bukan sekadar urusan dagang. Ini adalah ujian kedaulatan.
MetaAI Bicara: Bijak, Tapi Kurang Tajam?
Komentar dari MetaAI terhadap yang saya tulis, menyarankan langkah-langkah seperti diversifikasi ekspor, peningkatan daya saing, hingga optimalisasi perundingan dagang. Saya sepakat---itu langkah-langkah ideal. Namun, ideal tidak selalu kontekstual.
Diversifikasi ekspor? Mudah dikatakan. Tapi pasar alternatif seperti India atau Timur Tengah pun bukan wilayah kosong. Mereka juga sedang memperketat impor dan menyaring pemain global berdasarkan preferensi politik dan efisiensi logistik.
Optimalisasi perundingan dagang dengan AS? Tentu. Namun, perundingan macam apa yang bisa kita lakukan dengan pemimpin seperti Trump---yang tidak percaya pada multilateralisme, lebih senang politik transaksional, dan punya visi America First yang tak pernah berubah?
BRICS: Harapan atau Beban?
Bergabung dengan BRICS memang bisa membuka peluang kerja sama ekonomi baru, tetapi perlu kehati-hatian. Kita bukan Brasil, bukan Tiongkok, bukan India. Kita masih dalam proses menegosiasikan identitas strategis kita sendiri di panggung global.