Refleksi Tajam atas Panggung Ekonomi Global dan Posisi Kita sebagai Bangsa
Di saat saya menjalani banyak istirahat karena kesehatan dan memaksa untuk banyak diam, perhatian saya terseret oleh kabar mengejutkan: Presiden Donald Trump---ya, Presiden aktif Amerika Serikat---melontarkan ancaman tarif 10% terhadap BRICS dan menyebut aliansi itu "akan bubar kalau terlalu serius."Â
Bukan main-main. Ini bukan sekadar manuver politik dalam negeri Amerika, melainkan pesan keras untuk dunia, termasuk kita---Indonesia.
Pernyataan Trump itu muncul dalam momen simbolis saat penandatanganan GENIUS Act, yang memperlihatkan dengan gamblang bagaimana ekonomi global tak lagi sekadar angka-angka, tapi juga soal ego, dominasi, dan siapa yang boleh menentukan arah sejarah.Â
BRICS, yang digadang sebagai kekuatan tandingan baru terhadap dominasi Barat, langsung jadi sasaran tembak. Dan Indonesia, yang baru saja bergabung ke dalamnya, ikut terkena imbas dari getaran diplomasi dagang ala Trump.
Sementara BRICS menggelar pertemuan internal merespons ancaman itu, dari Tanah Air, muncul satu kabar lain yang tak kalah menarik: Presiden Prabowo Subianto mengumumkan hasil negosiasi tarif dengan AS---produk ekspor Indonesia yang sebelumnya dikenai tarif 32%, kini diturunkan menjadi 19%.Â
Sekilas tampak menggembirakan, tapi ada catatan penting yang tak boleh kita abaikan: produk AS tetap bisa masuk ke Indonesia tanpa bea masuk.
Apakah ini bentuk diplomasi win-win, atau justru kemenangan sepihak yang menyamar sebagai kerja sama?
Apakah ini cerdas, strategis, atau justru sinyal lemahnya posisi tawar kita?
Antara Retorika Trump dan Realitas Indonesia
Kita tahu gaya Trump: keras, hitam-putih, dan transaksional. Ia melihat dunia sebagai pasar dan medan tawar. Bagi Trump, jika BRICS berani mengusik dolar, maka bersiaplah dihukum tarif. Tak peduli apakah BRICS memiliki kekuatan riil atau masih dalam tahap konsolidasi politik dan ekonomi.
Namun, ketika kita (Indonesia) justru menyambut itu dengan keringanan tarif demi "menjaga hubungan baik," muncul pertanyaan reflektif:
Apakah kita sedang berdagang, atau sedang menyerahkan kedaulatan ekonomi?