Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Balik Kesepakatan Tarif 19persen yang Terasa Berat Sebelah

18 Juli 2025   08:04 Diperbarui: 18 Juli 2025   08:04 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI 


Presiden Prabowo Subianto, sepulang dari lawatan diplomatik, mengumumkan bahwa Indonesia dan Amerika Serikat telah menyepakati penurunan tarif resiprokal dari 32% menjadi 19%. 

Kesepakatan ini diumumkan setelah negosiasi alot dengan Presiden AS, Donald Trump, yang dikenal dengan gaya negosiasi keras dan penuh tekanan.

Namun, di balik sorotan kamera dan senyum diplomatik, muncul pertanyaan penting: apakah kesepakatan ini benar-benar menguntungkan Indonesia?

Ketimpangan dalam Tarif: AS 0%, Indonesia 19%

Salah satu poin paling mencolok dalam kesepakatan ini adalah ketidakseimbangan tarif yang disepakati. Produk-produk dari Amerika Serikat tidak dikenakan tarif sama sekali saat masuk ke Indonesia --- 0%. 

Sementara itu, produk ekspor dari Indonesia masih harus menanggung tarif sebesar 19% saat masuk ke pasar AS.

Secara praktis, ini berarti produk lokal Indonesia harus bersaing langsung dengan produk-produk AS yang masuk tanpa beban biaya tambahan. Petani, nelayan, pelaku UMKM, hingga sektor manufaktur kecil bisa terdampak secara langsung. 

Produk pertanian AS yang masuk dengan harga lebih murah bisa memukul harga gabah, kedelai, dan komoditas pangan lokal. Demikian pula produk farmasi, teknologi, dan barang konsumsi asal AS dapat membanjiri pasar domestik tanpa hambatan tarif, membuat persaingan makin tidak sehat.

Persyaratan Tambahan: Pembelian Boeing dan Energi

Untuk mendapatkan kesepakatan ini, Indonesia disebut-sebut harus menyetujui beberapa persyaratan dari AS:

  • Membeli produk energi AS senilai US$ 15 miliar (sekitar Rp 242 triliun),
  • Membeli produk pertanian AS senilai US$ 4,5 miliar (sekitar Rp 73 triliun),
  • Membeli sedikitnya 50 unit pesawat Boeing untuk kebutuhan Garuda Indonesia.

Pemerintah beralasan bahwa pembelian Boeing diperlukan untuk memperkuat armada penerbangan nasional. Namun, di tengah kondisi keuangan Garuda Indonesia yang belum sepenuhnya pulih, langkah ini menimbulkan pertanyaan serius.

Apakah Indonesia Tunduk? Di Mana Posisi Tawar Kita?

Beberapa pihak menilai bahwa kesepakatan ini tidak lahir dari kemitraan yang setara, melainkan dari posisi Indonesia yang cenderung tunduk terhadap tekanan negosiasi AS. 

Kata "konfrontasi" sempat terlontar sebagai sesuatu yang dihindari oleh Indonesia. Tapi apakah kompromi yang terlampau besar seperti ini adalah pilihan terbaik?

Sebagai anggota BRICS yang kini ingin memperkuat kemandirian ekonomi global, posisi Indonesia semestinya lebih berani memperjuangkan kesetaraan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: negosiasi ini memperlihatkan betapa lemahnya posisi tawar Indonesia, baik secara diplomatik maupun ekonomi.

Fakta di Lapangan: Amerika Serikat Tak Lagi Stabil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun