Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Circle yang Berbeda

18 Agustus 2025   13:55 Diperbarui: 18 Agustus 2025   13:55 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.istockphoto.com/id/foto-foto/satelit

Adam duduk termenung di ruang redaksi yang dingin dan penuh layar. Ini baru minggu kedua ia bekerja sebagai jurnalis di sebuah stasiun televisi swasta di kota gubernuran. Di sekelilingnya, rekan-rekan seprofesi sibuk mengetik, berdiskusi, atau menonton ulang rekaman wawancara dengan wajah penuh semangat. Di sini, topik obrolan saat istirahat bukan lagi soal anak tetangga yang kawin muda atau siapa selingkuh dengan siapa. Mereka membicarakan soal satelit bergeser, frekuensi siaran terganggu, sinyal uplink, komentar tentang aturan baru di kantor, sampai kontroversi lucu soal pengibaran bendera karakter kartun di depan gedung pemerintah. Sungguh seperti tanah di bumi dibandingkan planet di tata surya lain, jauhnya bukan main. Memang berbeda antara orang yang punya wawasan luas dengan orang yang hanya sibuk hal-hal ringan seperti menghias diri atau menggosip tetangga. Dunia ini, circle ini, begitu Adam menyebutnya dalam hati, sangat jauh berbeda dengan dunia yang baru saja ditinggalkannya di kampung pedalaman. Adam sebenarnya bukan orang baru dalam dunia kerja. Sebelum pindah ke kota, dia seorang guru honorer di sebuah SMP kecil di tepi sungai. Gajinya satu juta rupiah, itupun baru cair setiap tiga bulan sekali. Untuk menambal kebutuhan rumah tangga, Adam membuat baju adat. Tangannya lihai menjahit motif Dayak dengan benang warna-warni. Pekerjaan itu diam-diam adalah bagian dari hidupnya yang paling menyenangkan, tetapi sekaligus yang paling sering dikorbankan. Setiap hari, Adam bangun dengan tubuh remuk redam. Bukan karena pekerjaan menjahit, bukan karena tugas mengajar, tapi karena beban rumah tangga dan tekanan dari orang-orang serumah. Jam dua subuh anaknya masih menangis, dan baru bisa tertidur setelah Adam menggendongnya bolak-balik hingga peluh membasahi leher kausnya. Belum sempat merebahkan diri, suara ibu mertuanya sudah menggelegar dari dapur, "Adam, bangun! Laki-laki jangan kebanyakan tidur!" Adam hanya bisa memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu duduk di ranjang sambil menahan kantuk yang menempel seperti lintah. Siangnya, Adam harus bergegas ke sekolah. Tapi seringkali terlambat karena iparnya entah ke mana, dan ia harus menjaga anak kecil mereka. Di sekolah, Adam pun tak bisa fokus sepenuhnya. Teman-teman sesama guru menghabiskan waktu istirahat dengan menggosip, mulai dari murid yang ikut lomba sains, guru yang tiba-tiba jadi juara masak, hingga kabar lucu tentang guru senior yang ketahuan menari di kantin. Adam, yang sedang pusing menghitung sisa uang di dompet, hanya bisa senyum kecut, merasa topik-topik itu terlalu "ajaib" baginya. Ketika jam pelajaran usai, Adam tidak bisa langsung pulang dan beristirahat. Mertuanya menelepon, menyuruhnya menimba perahu yang nyaris tenggelam di sungai. Kadang disuruh mengantar minyak BBM ke ladang, membantu membakar ladang, atau menjual ikan ke pasar. Belum lagi kalau ada anggota keluarga yang sakit, dia juga yang disuruh antar berobat. Hari-hari Adam seperti tersedot ke dalam pusaran tanggung jawab tanpa ujung. "Kerja di rumah lebih penting dari gaji kecilmu itu," kata mertuanya suatu kali, saat Adam pamit pergi menjahit baju pesanan orang. Adam hanya diam. Ia merasa tak dihargai. Tak ada ruang bagi dirinya untuk berkembang. Dunia tempatnya berpijak terasa seperti sumur sempit yang dalam. Maka ketika tawaran kerja di stasiun TV swasta itu datang dari kawannya yang dulu satu kampus, ia langsung menerima. Meski harus meninggalkan keluarga, ia merasa ini satu-satunya jalan keluar dari lingkaran yang menyesakkan. Di ibukota provinsi, Adam seperti masuk ke planet baru. Di kantor, semua orang menggunakan istilah-istilah yang tak pernah ia dengar: editing timeline, feed delay, live on air, rundown script. Tapi Adam belajar cepat. Ia mendengar, mencatat, mencoba, dan diam-diam mulai menikmati dunia ini. Hari ini, saat istirahat, mereka membahas soal siaran yang terganggu karena satelit Telkom bergeser. Besoknya, Adam dijadwalkan untuk mewawancarai Gubernur tentang isu pemblokiran rekening Bank oleh PPATK. Lusa, tentang pelajar yang membawa bendera One Piece ke upacara bendera dan menuai kecaman. Dunia ini penuh tantangan, kadang membingungkan, tapi membuat jiwanya hidup kembali. Ia sadar, sekarang berada di lingkaran yang benar-benar berbeda. Di tempat lama, semuanya berjalan pelan, diukur dari seberapa besar perhatian pada keluarga, bukan dari impian atau prestasi pribadi. Di tempat baru, tantangan datang tiap hari, tetapi ada ruang untuk belajar, ada penghargaan atas kerja keras, dan yang paling penting: ada kemungkinan untuk berkembang. Suatu malam, Adam menerima video call dari istrinya. Anak mereka tertawa-tawa melihat wajah ayahnya di layar. Hatinya mencelos. Ia rindu. Tapi ia juga tahu, demi masa depan mereka, ia harus bertahan. "Bagaimana kabar di sana?" tanya istrinya. "Aman, lancar. Di sini, orang-orangnya sibuk bahas satelit. Bukan soal siapa paling jago main media massa atau siapa terakhir makan es krim," katanya sambil terkekeh.Istrinya ikut tertawa. "Circle yang beda, ya?" Adam mengangguk. "Sangat beda. Tapi aku rasa... ini circle yang tepat buat aku sekarang." Pembicaraan mereka ngalur-ngidul beberapa menit kemudian... Sambil itu, mereka berdua saling melepas rindu lewat video call. Tidak terasa, pembicaraan mereka tiba-tiba putus, ternyata paket internet habis di tengah drama romantis mereka. ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun