Mohon tunggu...
Marjuni
Marjuni Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Fokus pada Manajemen Pendidikan Islam, Branding Strategy Lembaga Pendidikan Islam, Marketing Lembaga Pendidikan Islam, Kajian Pesantren, Kajian Pemikiran Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati: Antara Absurdisme dan Nihilisme

15 Februari 2023   00:22 Diperbarui: 15 Februari 2023   00:28 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukuman Mati (Merdeka.com:2015) 

Senin, 13 Februari 2023, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang "Hukuman Mati" terhadap Ferdy Sambo. Majelis Hakim menyatakan Ferdy Sambo bersalah atas pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. dan menjatuhkan hukuman mati pada akhir sidang yang dijadwalkan untuk pembacaan putusan atau vonis. Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menyatakan, "Majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur sengaja dipenuhi".

Tidak ada hukuman yang lebih menggemparkan daripada hukuman mati. Kasus hukuman mati dipandang sebagai yang paling serius dalam sistem hukum positif di Indonesia. Pidana mati diatur dalam Pasal 11 KUHP, juncto Pasal 10 dan UU No. 2/PPNS/1964, dan terakhir dengan Pasal 98 sampai dengan 102 KUHP revisi. Untuk kejahatan mulai dari perdagangan narkoba hingga terorisme, hukuman mati sebelumnya telah diterapkan di Indonesia. Namun baru-baru ini, Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati atas pembunuhan Brigadir Jenderal J oleh PN Jakarta Selatan.

Menurut Topo Santoso (2016), Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, bahwa debat panjang dan tren Dunia atas hukuman mati telah lama terjadi. Perspektif HAM menyarankan agar setiap negara menghapus hukuman mati pada undang-undangnya.  China, Arab Saudi, Iran, Amerika Serikat, dan Indonesia adalah beberapa negara yang masih melaksanakan hukuman mati, baik secara hukum maupun praktik. China adalah negara yang paling disorot karena banyaknya hukuman mati. 

Diperkirakan sekitar 60% hukuman mati di dunia dilakukan oleh China, jumlahnya mencapai ribuan. Ratusan orang telah dijatuhi hukuman mati di Amerika Serikat dan Arab Saudi. Di Indonesia, puluhan orang telah divonis penjara dalam beberapa tahun terakhir, terutama untuk kasus narkoba, terorisme, dan pembunuhan berencana. Sebenarnya ada juga hukuman mati untuk korupsi, tapi belum ada yang dihukum mati untuk kasus ini. Sampai kapan hukuman mati akan dihapus dari dunia ini? Tidak jelas berapa lama. Namun, tren dunia hukuman mati semakin menurun.

Pada tahun 1948 ketika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Duham lahir, hanya sekitar 6 atau 7 negara yang menghapuskan hukuman mati. Sekarang 70% negara di dunia telah menghapus hukuman mati dalam undang-undang mereka atau menerapkan moratorium (tidak melakukannya). Beberapa negara telah menghidupkannya kembali, tetapi dengan cepat menghapusnya, seperti Filipina. Namun, sangat jarang ada negara yang pernah menghapusnya, kemudian menerapkannya kembali. 

Sedangkan negara-negara yang masih memiliki dan melaksanakan hukuman mati semakin berkurang, dengan rata-rata tiga negara menghapusnya setiap tahun. Semua negara Uni Eropa telah menghapusnya, termasuk Belanda yang KUHPnya kita warisi. Begitu juga Australia, Kanada, dan sebagian besar Asia dan Amerika. Sangat mungkin kecenderungan ini akan berlanjut, mengingat beberapa negara juga mensyaratkan tidak boleh ada hukuman mati untuk perjanjian regional atau ekstradisi atau kerja sama pemberantasan korupsi dan sebagainya. Sebagai contoh, Turki antara lain terhambat oleh penolakan Uni Eropa terhadap hukuman mati.

Ulasan ini tidak membahas hukuman mati dari aspek hukum, namun mencoba mengulasnya dari aspek filsafat. Mengapa demikian? Bahwa hukuman mati adalah termasuk hukuman paling berat ditinjau dari tingkatan vonis dalam tata hukum positif di Indonesia. Tentu saja, ini diharapkan akan memnjadi efek jera bagi pelakunya, dan efek menjauhi segala bentuk potensi terjerat pidana yang berakibat "hukuman mati". Bahwa aspek "hidup" dan "mati" bagi manusia, apapun agamanya adalah hal pertama dan terakhir bagi manusia. 

Artinya vonis hukuman mati berakibat harus menerima kematian sebagai hukumannya. Sementara kelahiran manusia di muka bumi ini cenderung untuk menjaga eksistensinya. Berangkat dari premis inilah, ulasan ini mencoba untuk meninjau hukuman mati sebagai representasi eksistensi penegakan hukum versus eksistensi hak hidup setiap individu manusia. 

Madzhab Filsafat Absurdisme

Albert Camus (Sumber: https://sanatkaravani.com/)
Albert Camus (Sumber: https://sanatkaravani.com/)

Teori absurditas itu memandang bahwa kehidupan manusia itu absurd, irrasional, sulit dipahami, dan serba tidak pasti. Ketidakpastian antara pikiran manusia dan realitas, manusia selalu memikirkan konsep kehidupan tetapi konsep ini tidak sesuai dengan realitas di luar dirinya. Perasaan absurd muncul karena manusia mencari pemahaman yang lengkap mengenai dunia yang tidak dapat dipahami.

Albert Camus secara luas dikenal sebagai pencipta teori absurditas. Seorang filsuf dari Perancis.  Dia lahir pada 7 November 1913, dan wilayah Dréan adalah tempat kelahirannya. Kota Dréan terletak 25 kilometer selatan Annaba di Provinsi El Taref, Dréan adalah wilayah pesisir kecil di Aljazair. Selama Prancis memerintah Aljazair, Albert Camus lahir di kota Dréan (nama saat ini) yang daulu bernama kota Mondovi. Camus menganggap keberadaan manusia sebagai sesuatu yang ambigu (absurd). Namun, ketidakpastian ini adalah satu-satunya kejelasan yang ada. 

Dalam buku terbaiknya, Mite Sisifus (1999), Camus menawarkan teori absurditas, bahwa absurditas ada karena adanya konfrontasi antara beberapa hal. Absurditas duduk tepat di tengah jalinan kontradiksi. Itu akan muncul ketika akal terus memproses kontradiksi dan ketika akal tidak dapat menyatukan atau mengatur hal-hal ini menjadi satu pemahaman yang logis atau terstruktur. Dalam banyak kasus, manusia menentukan nilai suatu benda sebagai akibat dari apa yang ditimbulkannya. 

Namun, ketika konsekuensi dari kontradiksi ini tidak dapat diproses oleh akal, absurditas lahir tepat di antaranya. Absurditas yang mustahil ada di luar manusia dan dunianya. Ia mengikat manusia pada dunianya. Sebagai contoh, ketika manusia menghadapi kondisi di mana realitas dan standar idealisme bertentangan. Pada tahap awal manusia adalah dia yang mencari kebenaran atau sebalinya sebuah kepalsuan dari suatu kondisi. Manusia akan mencari kepentingan yang tampak dan ditawarkan oleh suatu realitas. Jika akal belum menemukan jawaban, maka manusia mengambil data tambahan melalui potensi-potensi akibat (dampak) yang muncul dari kondisi itu. Ketika jawabannya belum ditemukan, absurditas tercipta.

Absurditas merupakan sesuatu yang ada karena nalar tidak berhenti untuk berjalan, sementara itu keberadaan (eksistensi) tidak akan pernah habis untuk ditaklukkan oleh nalar. Hilangnya salah satu dari pembanding justru akan menghilangkan ke-absurditas-an.  

Ia hanya akan ada apabila kedua komponen yang berkontradiksi ada, hilangnya salah satu komponen melahirkan kepastian — tidak adanya kemungkinan — sehingga absurditas hilang. Absurditas bukan lagi masalah benar atau salah. Ia merupakan titik yang tidak pernah habis dicapai oleh nalar. Keberadaannya merupakan penyebab sekaligus tujuan dari berjalannya nalar. Ia pun tumbuh dan semakin membesar apabila terdapat perbedaan yang semakin luas di antara pembanding-pembandingnya. 

Dalam Kajian Ushul Fiqh, kita mengenal istilah Qiyas (analogi). Qiyas menurut etimologis berarti mengukur (at taqdir). Menurut terminologi ushul fiqih, Qiyas adalah menyamakan (ilhaq) masalah cabang dengan masalah pokok dari segi hukum syara’ karena adanya kesamaan illat pada masalah cabang dan masalah pokok. Definisi Qiyas ini juga sekaligus menunjukkan adanya 4 (empat) rukun Qiyas, yaitu : (1) masalah pokok (al ashlu), (2) masalah cabang (al far’u), (3) hukum masalah pokok (hukm al ashli), dan (4) illat. 

Namun, menurut Camus, absurditas bukan merupakan suatu kesia-siaan seperti yang terlihat selama ini. Absurditas itu bersifat tidak terhingga. Camus menggambarkan kondisi ini menggunakan pendekatan mythe tentang Sisifus. Sisifus digambarkan oleh Homer sebagai raja bijak dari Korintus. 

Oleh karena kebijaksanaannya, ia memberitahukan kepada Asofus bahwa putrinya telah diculik oleh Zeus. Zeus yang marah atas pengaduan Sisifus, mengutuk Sisifus untuk mengangkat batu hingga ke puncak gunung. Namun ketika Sisifus telah sampai di puncak gunung, batu tersebut terjatuh. Sisifus kembali harus membawa bongkahan batu ke puncak gunung hingga tiada henti. Demikian terjadi secara berulang selamanya. Bila dinilai dalam bingkai fungsi, apa yang dilakukan Sisifus nampaklah sebagai suatu kesia–siaan.

Menurut Camus, apa yang dilakukan oleh Sisifus merupakan suatu bentuk absurditas nyata. Sebagai seorang raja yang bijak, Sisifus bersedia menerima kutukannya karena ia mengetahui esensi dari tindakannya: sebuah ke-absurditas-an. Namun, Sisifus dapat menggambarkan suatu bentuk absurditas mengenai usaha manusia ketika hidup di bumi. Apapun manfaat, fungsi dan akibat dari kehidupan seorang manusia, ia akan bertemu dengan kematian, yang membuktikan bahwa kehidupan manusia pada akhirnya menyimpulkan sebuah ke-absurditas-an.

Camus tidak memandang kisah Sisifus sebagai kesia-siaan tanpa nilai. Bahkan, ia mengajak kita untuk melihat Sisifus yang bahagia, yang mengisi hatinya dengan perjalanan menuju puncak gunung. Batu adalah dunia tak terbatas yang tidak dapat habis dijelajahi oleh manusia. 

Sisifus kembali mengambil batu, hal ini sama artinya dengan manusia yang melihat kembali kepada dunianya. Sisifus yang mengangkat batu adalah saat di mana manusia melakukan proses konfrontasi. Sisifus dan manusia sama-sama bahagia dalam segala pencariannya. Konfrontasi, kesedihan, perjuangan, kerinduan dan pemberontakan menjadi hal yang membuat manusia hidup. Proses ini menjadikan Sisifus bukan hanya sebagai raja dan orang terkutuk, namun sekaligus menjadi legenda. Kesakitan dan nilai utama dari kesakitan tersebut yang dimaksud Michael Angelo sebagai agony dan ecstasy.

Absurditas dapat menjadi jelas saat kita mengalami proses penciptaan dan penghancuran, penyatuan dan pemisahan. Ketika melakukan sebuah penciptaan, absurditas dapat disamakan dengan seni dan akan berakhir saat terjadi penghancuran. Nietzsche mengatakan bahwa kita memiliki seni agar tidak mati, karena dengan itu kita mengenal kebenaran. Itu artinya kebenaran merupakan suatu hal yang berada di tengah kesenian dan kematian. Mengenal kebenaran dapat membawa manusia terhadap kematian dan kesimpulan akhir.

Sementara untuk mencegah hal tersebut, manusia harus tetap memiliki seni dan melakukan proses penciptaan. Rangkaian ini tidak boleh memperhitungkan takdir, tidak juga memperhatikan hari esok. Manusia dalam pemahaman dasarnya telah mengerti bahwa satu–satunya akhir dari penciptaan (kelahiran) adalah penghancuran (kematian). Hal ini terdengar kental dengan unsur manikeistis, namun rangkaian kejadian inilah yang disebut Camus sebagai proses manusia menjadi manusia yang absurd.

Dalam titik absurditas ini, nalar seringkali menggerakkan dan menghidupkan manusia melebihi apa yang dapat dilakukan oleh imajinasi. Ia dapat dikatakan sebagai hal yang membuat manusia merindukan, mencari-cari dan kemudian berfilsafat. Camus menggambarkan absurditas manusia melalui beberapa karya Molina, Doestoyevski, Shakespeare, dan Kafka. 

Camus melihat kesamaan garis besar dalam kisah Don Juan,  Le Cheteau, Le Proces, Les Possedes, Karamazov, Hamlet dan King Lear yaitu absurditas sebagai obyek utama ceritanya. Karya-karya tersebut merupakan karya yang membahas tentang keabsurditasan, sehingga dapat disamakan dengan esai Camus sendiri. Karya-karya tersebut dapat menjadi rujukan ketika seorang manusia berusaha untuk menemukan makna hidupnya.

Prinsip utama absurdisme adalah bahwa segala sesuatu di kosmos itu bersifat acak, pasif, dan tidak berarti. Paradoks terjadi karena orang-orang di dalamnya mencari makna yang lebih dalam. Mencoba memahami dunia alami ini sambil juga mencari tujuan hidup yang berujung pada menciptakan dilema. Prinsip esensial di balik absurdisme adalah paradoks ini.

Absurdisme menyediakan tiga cara untuk mengatasi kondisi alam semesta yang mustahil dan membingungkan. Sebagai solusi yang ditawarkan oleh absurdisme ialah: pertama, mencoba bunuh diri; kedua, bunuh diri filosofis; ketiga, berdamai dengan absurditas.

Pilihan pertama telah menerima banyak dukungan dan merupakan alternatif yang populer, namun bukan yang terbaik. Menjalani hidup absurd itu menantang dua kemungkinan, hidup terus dalam keabsurd-an, atau mengakhiri hidup untuk melepaskan diri dari absurditas. Bunuh diri dianggap melakukan lompatan kuantum yang aneh dan menjadi beban bagi keluarga yang ditinggalkan. Seperti seorang pria yang putus asa dengan situasi keuangannya, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Istri dan anak-anaknya, atau keluarga yang masih hidup, harus mengambil alih semua tanggung jawab utang piutang.

Pilihan kedua, yang disebut Camus sebagai "lompatan iman". Untuk memberikan tujuan hidup kita, pertama-tama kita harus berpikir bahwa ada "dzat" lain yang lebih besar dan lebih kuat dari kita. Apakah ada alasan mengapa Camus juga tidak menganjurkan tindakan ini? Untuk alasan sederhana bahwa kita harus bisa melarikan diri ke dalam fantasi "kebenaran" dan mengabaikan kekacauan kehidupan nyata. Selain itu, larangan wajib dan "aturan agama" yang dikenakan pada individu yang memilih jalan ini membuat manusia merasa bebas namun terkekang. Jika kita memilih pilihan kedua, kita akan menekan dan menghilangkan keyakinan dan keinginan kita sendiri.

Pilihan ketiga adalah apa yang disebut Albert Camus sebagai "ke-pahlawan-an" atau heroisme, yang mengharuskan melihat potensi positif dalam absurditas hidup dan menggunakan potensi positif itu sebagai seruan untuk mendorong seseorang menuju tujuan sejatinya dalam hidup. Kita harus mengambil apa yang diberikan kehidupan kepada kita dengan tulus. Tidak ada orang lain yang harus disalahkan jika kita dalam keadaan status sosial yang lebih rendah daripada teman dan saudara kita. Karena Tuhan tidak pernah memberi kesempatan kepada kita untuk memilih siapa yang akan menjadi ayah dan ibu kita. Sebaliknya, manusia harus menjalani hidup apa adanya dan terus berjalan untuk harapan dan impian kita.

Madzhab Filsafat Nihilisme

Teori nihilisme, adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa seseorang menganggap hidup tidak berarti dan apa yang telah ditentukan dalam masyarakat tidak memiliki dasar apa pun. Nihilisme sering dikaitkan dengan pesimisme ekstrem dan skeptisisme radikal yang mengutuk eksistensialisme.

Berbeda dengan absurdisme yang biasa diidentikkan dengan filsuf Prancis Albert Camus, dan nihilisme yang biasanya dikaitkan dengan nama filsuf "pembunuh Tuhan", Fredrick Nietzche, memiliki perbedaan mendasar. Secara garis besar, mereka berdua berdebat untuk hal yang sama: bahwa kehidupan di dunia nyata sebagian besar tidak berarti dan tanpa tujuan (atau mungkin tidak bertujuan sama sekali). Segala sesuatu yang diketahui seseorang tentang dunia dan dirinya sendiri didasarkan pada apa yang telah dia lihat, dengar, dan pikirkan sejak dia masih kecil.

Nihilisme, meskipun Friedrich Nietzsche, bukan pencetus aliran filsafat nihilisme, karena terdapat beberapa aliran nihilisme, yaitu, nihilisme metafisik, nihilisme moral, nihilisme parsial, dan nihilisme eksistensial. Friedrich Nietzsche lebih terkenal dengan nihilisme eksistensial. Menurut Nietzche, bahwa kehidupan ini berjalan tanpa makna dan tidak memiliki nilai yang tersirat sama sekali. Munculnya makna dan nilai yang tersirat dalam hidup adalah karena asumsi manusia yang menganggap adanya “Yang lebih dan Maha Sempurna” di luar dirinya. Padahal seluruh manusia dan spesies apapun di alam semesta ini tidak bermakna (signifikan), bahkan tidak bernilai apapun dan tidak bertujuan apapun.

Di Eropa, Nietzsche, memiliki sebutan “Sang Pembunuh Tuhan”. Nietzsche beranggapan bahwa “makna hidup” dan “nilai” yang tersirat dari hidup dan kehidupan manusia itu turun dari Tuhan. Sangat mungkin jika sesorang putus asa akibat tekanan hidup yang hebat akibat kekurangan penghasilan, dan masalah kehidupan lainnya, maka ia berpotensi untuk meniadakan eksistensi Tuhan atau justru beranggapan bahwa Tuhan telah meninggalkan dirinya.

Menurut Nietszche, kita dan semua makhluk hidup lainnya di bumi sebenarnya tidak ada artinya. Oleh karena itu, "pemberi makna" harus "dibunuh" dari kesadaran kita agar kita tidak menganggap diri kita lebih penting dan bermakna daripada sang “pemberi makna”. Karena kita berasumsi bahwa tangan yang tidak terlihat akan membantu kita. Manusia ditekan untuk tidak berjuang dan mengatasi semua masalah yang kita hadapi akibat banyak aturan norma dan nilai yang syarat makna. Artinya pasrahkan saja makna hidup ini diberikan makna oleh sang pemilik makna, entoh, meskipun kita berupaya mencari makna hidup, ujungnya kita sendiri ini tidak ada makna.

Ketika seseorang kehilangan kepercayaan akan pentingnya hidup, rasa sakit, dan "kehadiran kita" di bumi, nihilisme akan terbentuk. Ketika segala sesuatu tampak tidak berarti dan tidak berguna, nihilisme akan terwujud. Dalam keadaan seperti itu, dogma-dogma tertentu hanya akan menghasilkan individu-individu yang depresi, stress, dan terkungkung.

Menurut Nietzsche, solusinya adalah nihilisme aktif. Nihilis aktif adalah mereka yang membongkar cita-cita "salah" yang diciptakan oleh orang dahulu dan membangun interpretasi makna dan keyakinan subyektif kita sendiri. Neitzche membandingkan ini dengan pematung yang membuat patung dari batu atau kayu. Para pematung tidak pernah berpandangan pada gambar dan atau visualisasi apapun sebelumnya, kecuali ia hanya akan mengikuti fantasi subyektifnya untuk membuahkan sebuah karya seni. Karena setiap pematung (seniman) tentu memiliki “keunikan” sendiri yang terbebas dari keunikan orang lain.

Antitesis dari nihilisme aktif adalah nihilisme pasif, yang mengacu pada individu yang menyerah dan menginginkan kehampaan (bunuh diri). Nihilis aktif tidak takut pada kenyataan karena mereka tidak percaya pada apapun. Dengan cara ini, mereka dapat dengan bebas memilih tindakan masa depan mereka. Sebagai nihilis pasif, mereka akan dikuasai oleh kesadaran bahwa hidup sebenarnya tidak ada gunanya, sehingga mereka cenderung untuk tidak mau melakukan apapun.

Pada abad ke-20, karya-karya Nietzsche tentang nihilisme aktif memengaruhi gerakan eksistensialis Prancis. Tokoh-tokoh besar seperti Jean-Paul Sartre, Simon de Beauvoir, dan Albert Camus menanggapi karya tersebut, sehingga melahirkan gagasan-gagasan lanjutan dalam "napas" yang sama. Jadi, pemikiran Albert Camus tentang Absurditas itu hakikatnya adalah respon terhadap pemikiran  Nietzsche.

Pelajaran Berharga atas Vonis Hukuman Mati Perspektif Absurdisme dan Nihilisme Aktif

1. Perspektif Absurdisme

Umat manusia tidak mampu mendapatkan kendali atas alam semesta yang begitu penuh dengan rahasia. Akibatnya, umurnya dibatasi, kesempatannya terbatas, kekuasaannya terbatas. Terlepas dari kenyataan bahwa umat manusia terus berharap, batasannya berarti bahwa harapan dapat runtuh kapan saja. Mempertimbangkan realitas ini, keberadaan manusia tampak "gokil" dan "gila". Adalah sebuah kebodohan jika manusia terjerembab pada keadaan yang cenderung menjerumuskan manusia ke dalam misteri kehidupan yang tidak bisa dipahami. 

Albert Camus menyatakan sepakat untuk menanggung kegilaan ini. Camus menamai kegilaan hidup dengan istilah "otentisitas hidup manusia". Artinya, hidup itu otentik, tidak perlu dimodifikasi, apalagi hanya untuk mengejar yang absurd. Mungkin orang lain akan menganggapmu gila, tapi kegilaanmu adalah performa otentikmu. Kejujuran dan "apa adanya" memungkinkan kita untuk eksis sebagai homo vivens (sempurnanya hidup manusia). Homo vivens mengacu pada mereka yang hidup sesuai dengan panggilan sejati (ajaran Tuhan) mereka sebagai pencipta dan pengelola kehidupan mereka sendiri. 

Sehingga jika manusia ingin hidup sempurna, tentunya harus mengikuti ajaran Tuhan (Gloria Dei, Vivens Homo). Sangat mungkin sesorang memiliki kesempurnaan biologis dan material, atau kesempurnaan status sosial ekonomi, namun belum tentu sempurna secara etis, akibat melanggar ajaran Tuhan. Manusia merindukan kebenaran universal sedangkan dunia hanya misteri, sehingga Camus menganggap kehidupan ini absurd. Jika kehidupan ini absurd, sementara dunia ini hanyalah misteri, lalu mengapa kebanyakan orang mengejar absurditas?

2. Perspektif Nihilisme

Budaya teistik (mengakui keberadaan Tuhan), seperti di Indonesia, bahwa pelaku pidana extra ordinary, yang dinilai layak menerima hukuman mati, adalah sebuah keadilan sekaligus perlindungan atas hak hidup setiap individu. Ketika kita percaya akan adanya keadilan, siapa yang menentukan adil atau tidaknya? Tuhan? Pemerintah? atau  Pengadilan?

Nihilisme dibedakan menjadi dua, nihilisme aktif dan nihilisme pasif. Nietzsche menyarankan kepada nihilisme aktif. Nihilisme aktif menemukan kebebasan dan ketenangan dalam ketiadaan. Nihilis menghapus nilai-nilai yang ada untuk menetapkan tujuan baru. Mereka tidak takut dengan fakta bahwa mereka tidak memiliki keyakinan agama. Oleh karena itu, manusia bebas menentukan pilihan hidup.

Berbeda dengan nihilis pasif, orang-orang ini termakan oleh keyakinan bahwa tidak ada yang bisa dipercaya dan bahwa hidup kurang penting; akibatnya, kesehatan mental dan fisik mereka akan memburuk. 

Persoalannya adalah jika kita mengikuti nihilisme aktif, dan memandang bahwa semua hal di dunia ini, termasuk ilmu pengetahuan sebagai subyektif, lalu, kita mau ngapain? 

Nihilisme aktif cenderung mengajak kita untuk mengabaikan hal-hal di luar "idealisme" kita. Mungkin kita melakukan perbuatan memfitnah orang, agar orang tersebut buruk di mata kebanyakan orang. Pertanyaannya adalah apakah sudah pasti orang yang kita fitnah itu akan dipandang buruk oleh mereka? Belum tentu, lalu mengapa kita berupaya keras untuk memfitnah orang, padahal hasilnya (goal) belum tentu juga terjadi, dan bahkan cenderung subyektif.

Apakah kita tidak pernah berpikir bahwa bagaimana itu bisa terjadi pada diri kita sendiri yang menjadi korban fitnah? Siapkah kita untuk menghadapi segala peliknya persoalan menghalau fitnah? Padahal pelaku fitnah sudah jelas-jelas mengakui subyektifitas dirinya. Mungkinkah Anda (korban fitnah) akan menemukan obyektifitas dalam bingkai subyektifitas? 

Perbedaan utama antara nihilis dan pesimis adalah bahwa nihilis masih mengharapkan kesempatan terkecil untuk mencapai harapan baru, sedangkan pesimis cenderung menyerah pada prospek tersebut. Bagi sebagian orang, ketika kita menerima bahwa kita hanyalah setitik kecil dalam luasnya kosmos, kita akan mengalami ketenangan yang lebih besar. Bebas dari ekspektasi dan juga lepas dari ikatan keyakinan (agama).

Kesimpulan
1. Jika eksistensi manusia itu absurd, mengapa setiap manusia mengejar yang absurd? Jika tujuan hidup manusia itu mengagungkan Tuhan menghamba kepada Tuhan, mengapa menggantungkan tujuan hidup pada yang selain Tuhan?

2. Jika hukuman mati dianggap adil, mengapa berharap keadilan dari yang Bukan Maha Adil. Adil di mata manusia subyektif, sementara adil di Tangan Tuhan itu Pasti (obyektif). Ketiadaan dalam menemukan keadilan itu, artinya kita memaknai "keberadaan" keadilan.

3. Mengapa kita berjuang untuk sesuatu yang absurd (tidak jelas)  dengan cara menodai hak asasi manusia? Bukankah lebih mulia hidup "absurd" di mata manusia, namun mulia di mata Tuhan. Karena manusia (nyaris) tidak akan pernah bisa obyektif dalam melihat gejala, fenomena, dan fakta. Yang tahu hubungan kita dengan Tuhan kita adalah kita sendiri. Jangan kemudian meng-absurd-kan tujuan hidup untuk sesuatu yang sangat subyektif. "Hidup saja secara otentik, tanpa perlu menipu hidup dan kehidupan".

4. Masih ada sepenggal optimisme dalam "carut-marut" dunia dan isinya. Bahwa kita harus mengembalikan semua paradigma dari "tujuan hidup kita". Kebiasaan kita adalah seolah melibatkan Tuhan bahkan berperilaku mirip "Tuhan" sehingga kita harus mengadili "sesama" dengan cara-cara yang melanggar hukum Tuhan dan manusia.  Apakah tidak seharusnya kita menihilkan "eksistensi" kita, untuk menyongsong "eksistensi" lain di luar diri kita? "Setiap individu harus mengetahui tujuan hidupnya, terlepas dari agama apapun, bahwa standar benar dan salah itu memang tampak subyektif di tangan manusia, namun selalu obyektif di tangan Tuhan".

5. Hidup dan Mati itu pasti, tapi Hidup Mulia itu pilihan. Kalaupun kita harus tetap hidup, bukankah kita harus menjadi mulia, dan kalaupun kita mati mengapa tidak memilih jalan mulia? Maka untuk menghindari kematian yang sia-sia, sebaiknya hiduplah yang mulia. Hargailah sesama manusia, tanpa memandang keyakinannya. Agar kalaupun mati, banyak orang yang menangisi kita karena kemuliaan hidup kita, bukan sebaliknya.

Hidup ini ruwet, jangan malah dibikin ruwet dengan "imajinasi kuasa/power" kita. Karena sehebat apapun kita, kita tetap manusia "absurd" di mata Tuhan. Jika bukan karena kasih dan sayang-Nya, kita ini bukan apa-apa

Nihilkan Muliamu di mata Tuhan, niscaya akan Mulia di Mata Manusia

Tertawakanlah absurditas, agar hidup tetap waras

Selamat berpikir.....!!!!

Meskipun dunia ini absurd, namun tidak kemudian kita putus asa untuk menemukan tujuan hidup hakiki di tengah gelombang absurditas. Ibarat kita tenggelam di samudera, lantas kita tak ada upaya untuk bergerak (berenang) untuk menyelamatkan diri kita. Dalam mencapai kemuliaan itu ada banyak cara, pendekatan dan metode. Jangan kemudian kita hanya pasrah pada satu cara, satu pendekatan, dan satu metode, itu sama artinya adalah bunuh diri. Meskipun kita disarankan untuk "bunuh diri filosofis", namun Tuhan tidak pernah memberikan kepada kita pilihan untuk pasrah pada keadaan.

Maka sebaiknya untuk mengatasi semua persoalan, sebaiknya kita harus berdamai dengan keadaan. Jangan ngeyel....!!!! Sadar diri harus diutamakan...!!!. Namun juga tidak boleh kita "menihilkan" nilai diri kita, karena sekecil apapun dan serendah apapun status sosial kita, bahwa kita makhluk paling muliah di mata Tuhan. Mari kita cari kemuliaan di kubangan ketidak-muliaan ini!

Referensi

1. Akhkam, Saepul & Wibisono S, Koento. (2002). Absurditas manusia dalam perspektif pemikiran Albert Camus: Evaluasi kritis atas pandangan antropologi filosofis. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/20241

2.  Russel, Betrand. (1946). A History of Western Philosophy. George Allen & Unwin Ltd, London

3.  Camus, Albert. 1993. Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

4. Soesilo, Anodya Ariawan. Menertawakan Absurditas Agar Tetap Waras: Humor, Nihilisme, dan Penertawa. GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian, [S.l.], v. 4, n. 1, p. 31-54, apr. 2019. ISSN 2502-7751. 

5. Pölzler, Thomas. “Camus’ Feeling of the Absurd.” https://link.springer.com/article/10.1007/s10790-018-9633-1

6. JL Toribio Vazquez.(2021). On the origin and development of the term nihilism, https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0191453720975454

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun