Mohon tunggu...
Marjuni
Marjuni Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Fokus pada Manajemen Pendidikan Islam, Branding Strategy Lembaga Pendidikan Islam, Marketing Lembaga Pendidikan Islam, Kajian Pesantren, Kajian Pemikiran Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati: Antara Absurdisme dan Nihilisme

15 Februari 2023   00:22 Diperbarui: 15 Februari 2023   00:28 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukuman Mati (Merdeka.com:2015) 

Sisifus kembali mengambil batu, hal ini sama artinya dengan manusia yang melihat kembali kepada dunianya. Sisifus yang mengangkat batu adalah saat di mana manusia melakukan proses konfrontasi. Sisifus dan manusia sama-sama bahagia dalam segala pencariannya. Konfrontasi, kesedihan, perjuangan, kerinduan dan pemberontakan menjadi hal yang membuat manusia hidup. Proses ini menjadikan Sisifus bukan hanya sebagai raja dan orang terkutuk, namun sekaligus menjadi legenda. Kesakitan dan nilai utama dari kesakitan tersebut yang dimaksud Michael Angelo sebagai agony dan ecstasy.

Absurditas dapat menjadi jelas saat kita mengalami proses penciptaan dan penghancuran, penyatuan dan pemisahan. Ketika melakukan sebuah penciptaan, absurditas dapat disamakan dengan seni dan akan berakhir saat terjadi penghancuran. Nietzsche mengatakan bahwa kita memiliki seni agar tidak mati, karena dengan itu kita mengenal kebenaran. Itu artinya kebenaran merupakan suatu hal yang berada di tengah kesenian dan kematian. Mengenal kebenaran dapat membawa manusia terhadap kematian dan kesimpulan akhir.

Sementara untuk mencegah hal tersebut, manusia harus tetap memiliki seni dan melakukan proses penciptaan. Rangkaian ini tidak boleh memperhitungkan takdir, tidak juga memperhatikan hari esok. Manusia dalam pemahaman dasarnya telah mengerti bahwa satu–satunya akhir dari penciptaan (kelahiran) adalah penghancuran (kematian). Hal ini terdengar kental dengan unsur manikeistis, namun rangkaian kejadian inilah yang disebut Camus sebagai proses manusia menjadi manusia yang absurd.

Dalam titik absurditas ini, nalar seringkali menggerakkan dan menghidupkan manusia melebihi apa yang dapat dilakukan oleh imajinasi. Ia dapat dikatakan sebagai hal yang membuat manusia merindukan, mencari-cari dan kemudian berfilsafat. Camus menggambarkan absurditas manusia melalui beberapa karya Molina, Doestoyevski, Shakespeare, dan Kafka. 

Camus melihat kesamaan garis besar dalam kisah Don Juan,  Le Cheteau, Le Proces, Les Possedes, Karamazov, Hamlet dan King Lear yaitu absurditas sebagai obyek utama ceritanya. Karya-karya tersebut merupakan karya yang membahas tentang keabsurditasan, sehingga dapat disamakan dengan esai Camus sendiri. Karya-karya tersebut dapat menjadi rujukan ketika seorang manusia berusaha untuk menemukan makna hidupnya.

Prinsip utama absurdisme adalah bahwa segala sesuatu di kosmos itu bersifat acak, pasif, dan tidak berarti. Paradoks terjadi karena orang-orang di dalamnya mencari makna yang lebih dalam. Mencoba memahami dunia alami ini sambil juga mencari tujuan hidup yang berujung pada menciptakan dilema. Prinsip esensial di balik absurdisme adalah paradoks ini.

Absurdisme menyediakan tiga cara untuk mengatasi kondisi alam semesta yang mustahil dan membingungkan. Sebagai solusi yang ditawarkan oleh absurdisme ialah: pertama, mencoba bunuh diri; kedua, bunuh diri filosofis; ketiga, berdamai dengan absurditas.

Pilihan pertama telah menerima banyak dukungan dan merupakan alternatif yang populer, namun bukan yang terbaik. Menjalani hidup absurd itu menantang dua kemungkinan, hidup terus dalam keabsurd-an, atau mengakhiri hidup untuk melepaskan diri dari absurditas. Bunuh diri dianggap melakukan lompatan kuantum yang aneh dan menjadi beban bagi keluarga yang ditinggalkan. Seperti seorang pria yang putus asa dengan situasi keuangannya, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Istri dan anak-anaknya, atau keluarga yang masih hidup, harus mengambil alih semua tanggung jawab utang piutang.

Pilihan kedua, yang disebut Camus sebagai "lompatan iman". Untuk memberikan tujuan hidup kita, pertama-tama kita harus berpikir bahwa ada "dzat" lain yang lebih besar dan lebih kuat dari kita. Apakah ada alasan mengapa Camus juga tidak menganjurkan tindakan ini? Untuk alasan sederhana bahwa kita harus bisa melarikan diri ke dalam fantasi "kebenaran" dan mengabaikan kekacauan kehidupan nyata. Selain itu, larangan wajib dan "aturan agama" yang dikenakan pada individu yang memilih jalan ini membuat manusia merasa bebas namun terkekang. Jika kita memilih pilihan kedua, kita akan menekan dan menghilangkan keyakinan dan keinginan kita sendiri.

Pilihan ketiga adalah apa yang disebut Albert Camus sebagai "ke-pahlawan-an" atau heroisme, yang mengharuskan melihat potensi positif dalam absurditas hidup dan menggunakan potensi positif itu sebagai seruan untuk mendorong seseorang menuju tujuan sejatinya dalam hidup. Kita harus mengambil apa yang diberikan kehidupan kepada kita dengan tulus. Tidak ada orang lain yang harus disalahkan jika kita dalam keadaan status sosial yang lebih rendah daripada teman dan saudara kita. Karena Tuhan tidak pernah memberi kesempatan kepada kita untuk memilih siapa yang akan menjadi ayah dan ibu kita. Sebaliknya, manusia harus menjalani hidup apa adanya dan terus berjalan untuk harapan dan impian kita.

Madzhab Filsafat Nihilisme

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun