Mohon tunggu...
Marjuni
Marjuni Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Fokus pada Manajemen Pendidikan Islam, Branding Strategy Lembaga Pendidikan Islam, Marketing Lembaga Pendidikan Islam, Kajian Pesantren, Kajian Pemikiran Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati: Antara Absurdisme dan Nihilisme

15 Februari 2023   00:22 Diperbarui: 15 Februari 2023   00:28 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukuman Mati (Merdeka.com:2015) 

Kesimpulan
1. Jika eksistensi manusia itu absurd, mengapa setiap manusia mengejar yang absurd? Jika tujuan hidup manusia itu mengagungkan Tuhan menghamba kepada Tuhan, mengapa menggantungkan tujuan hidup pada yang selain Tuhan?

2. Jika hukuman mati dianggap adil, mengapa berharap keadilan dari yang Bukan Maha Adil. Adil di mata manusia subyektif, sementara adil di Tangan Tuhan itu Pasti (obyektif). Ketiadaan dalam menemukan keadilan itu, artinya kita memaknai "keberadaan" keadilan.

3. Mengapa kita berjuang untuk sesuatu yang absurd (tidak jelas)  dengan cara menodai hak asasi manusia? Bukankah lebih mulia hidup "absurd" di mata manusia, namun mulia di mata Tuhan. Karena manusia (nyaris) tidak akan pernah bisa obyektif dalam melihat gejala, fenomena, dan fakta. Yang tahu hubungan kita dengan Tuhan kita adalah kita sendiri. Jangan kemudian meng-absurd-kan tujuan hidup untuk sesuatu yang sangat subyektif. "Hidup saja secara otentik, tanpa perlu menipu hidup dan kehidupan".

4. Masih ada sepenggal optimisme dalam "carut-marut" dunia dan isinya. Bahwa kita harus mengembalikan semua paradigma dari "tujuan hidup kita". Kebiasaan kita adalah seolah melibatkan Tuhan bahkan berperilaku mirip "Tuhan" sehingga kita harus mengadili "sesama" dengan cara-cara yang melanggar hukum Tuhan dan manusia.  Apakah tidak seharusnya kita menihilkan "eksistensi" kita, untuk menyongsong "eksistensi" lain di luar diri kita? "Setiap individu harus mengetahui tujuan hidupnya, terlepas dari agama apapun, bahwa standar benar dan salah itu memang tampak subyektif di tangan manusia, namun selalu obyektif di tangan Tuhan".

5. Hidup dan Mati itu pasti, tapi Hidup Mulia itu pilihan. Kalaupun kita harus tetap hidup, bukankah kita harus menjadi mulia, dan kalaupun kita mati mengapa tidak memilih jalan mulia? Maka untuk menghindari kematian yang sia-sia, sebaiknya hiduplah yang mulia. Hargailah sesama manusia, tanpa memandang keyakinannya. Agar kalaupun mati, banyak orang yang menangisi kita karena kemuliaan hidup kita, bukan sebaliknya.

Hidup ini ruwet, jangan malah dibikin ruwet dengan "imajinasi kuasa/power" kita. Karena sehebat apapun kita, kita tetap manusia "absurd" di mata Tuhan. Jika bukan karena kasih dan sayang-Nya, kita ini bukan apa-apa

Nihilkan Muliamu di mata Tuhan, niscaya akan Mulia di Mata Manusia

Tertawakanlah absurditas, agar hidup tetap waras

Selamat berpikir.....!!!!

Meskipun dunia ini absurd, namun tidak kemudian kita putus asa untuk menemukan tujuan hidup hakiki di tengah gelombang absurditas. Ibarat kita tenggelam di samudera, lantas kita tak ada upaya untuk bergerak (berenang) untuk menyelamatkan diri kita. Dalam mencapai kemuliaan itu ada banyak cara, pendekatan dan metode. Jangan kemudian kita hanya pasrah pada satu cara, satu pendekatan, dan satu metode, itu sama artinya adalah bunuh diri. Meskipun kita disarankan untuk "bunuh diri filosofis", namun Tuhan tidak pernah memberikan kepada kita pilihan untuk pasrah pada keadaan.

Maka sebaiknya untuk mengatasi semua persoalan, sebaiknya kita harus berdamai dengan keadaan. Jangan ngeyel....!!!! Sadar diri harus diutamakan...!!!. Namun juga tidak boleh kita "menihilkan" nilai diri kita, karena sekecil apapun dan serendah apapun status sosial kita, bahwa kita makhluk paling muliah di mata Tuhan. Mari kita cari kemuliaan di kubangan ketidak-muliaan ini!

Referensi

1. Akhkam, Saepul & Wibisono S, Koento. (2002). Absurditas manusia dalam perspektif pemikiran Albert Camus: Evaluasi kritis atas pandangan antropologi filosofis. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/20241

2.  Russel, Betrand. (1946). A History of Western Philosophy. George Allen & Unwin Ltd, London

3.  Camus, Albert. 1993. Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

4. Soesilo, Anodya Ariawan. Menertawakan Absurditas Agar Tetap Waras: Humor, Nihilisme, dan Penertawa. GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian, [S.l.], v. 4, n. 1, p. 31-54, apr. 2019. ISSN 2502-7751. 

5. Pölzler, Thomas. “Camus’ Feeling of the Absurd.” https://link.springer.com/article/10.1007/s10790-018-9633-1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun