Mohon tunggu...
Marjuni
Marjuni Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Fokus pada Manajemen Pendidikan Islam, Branding Strategy Lembaga Pendidikan Islam, Marketing Lembaga Pendidikan Islam, Kajian Pesantren, Kajian Pemikiran Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati: Antara Absurdisme dan Nihilisme

15 Februari 2023   00:22 Diperbarui: 15 Februari 2023   00:28 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukuman Mati (Merdeka.com:2015) 

Teori absurditas itu memandang bahwa kehidupan manusia itu absurd, irrasional, sulit dipahami, dan serba tidak pasti. Ketidakpastian antara pikiran manusia dan realitas, manusia selalu memikirkan konsep kehidupan tetapi konsep ini tidak sesuai dengan realitas di luar dirinya. Perasaan absurd muncul karena manusia mencari pemahaman yang lengkap mengenai dunia yang tidak dapat dipahami.

Albert Camus secara luas dikenal sebagai pencipta teori absurditas. Seorang filsuf dari Perancis.  Dia lahir pada 7 November 1913, dan wilayah Dréan adalah tempat kelahirannya. Kota Dréan terletak 25 kilometer selatan Annaba di Provinsi El Taref, Dréan adalah wilayah pesisir kecil di Aljazair. Selama Prancis memerintah Aljazair, Albert Camus lahir di kota Dréan (nama saat ini) yang daulu bernama kota Mondovi. Camus menganggap keberadaan manusia sebagai sesuatu yang ambigu (absurd). Namun, ketidakpastian ini adalah satu-satunya kejelasan yang ada. 

Dalam buku terbaiknya, Mite Sisifus (1999), Camus menawarkan teori absurditas, bahwa absurditas ada karena adanya konfrontasi antara beberapa hal. Absurditas duduk tepat di tengah jalinan kontradiksi. Itu akan muncul ketika akal terus memproses kontradiksi dan ketika akal tidak dapat menyatukan atau mengatur hal-hal ini menjadi satu pemahaman yang logis atau terstruktur. Dalam banyak kasus, manusia menentukan nilai suatu benda sebagai akibat dari apa yang ditimbulkannya. 

Namun, ketika konsekuensi dari kontradiksi ini tidak dapat diproses oleh akal, absurditas lahir tepat di antaranya. Absurditas yang mustahil ada di luar manusia dan dunianya. Ia mengikat manusia pada dunianya. Sebagai contoh, ketika manusia menghadapi kondisi di mana realitas dan standar idealisme bertentangan. Pada tahap awal manusia adalah dia yang mencari kebenaran atau sebalinya sebuah kepalsuan dari suatu kondisi. Manusia akan mencari kepentingan yang tampak dan ditawarkan oleh suatu realitas. Jika akal belum menemukan jawaban, maka manusia mengambil data tambahan melalui potensi-potensi akibat (dampak) yang muncul dari kondisi itu. Ketika jawabannya belum ditemukan, absurditas tercipta.

Absurditas merupakan sesuatu yang ada karena nalar tidak berhenti untuk berjalan, sementara itu keberadaan (eksistensi) tidak akan pernah habis untuk ditaklukkan oleh nalar. Hilangnya salah satu dari pembanding justru akan menghilangkan ke-absurditas-an.  

Ia hanya akan ada apabila kedua komponen yang berkontradiksi ada, hilangnya salah satu komponen melahirkan kepastian — tidak adanya kemungkinan — sehingga absurditas hilang. Absurditas bukan lagi masalah benar atau salah. Ia merupakan titik yang tidak pernah habis dicapai oleh nalar. Keberadaannya merupakan penyebab sekaligus tujuan dari berjalannya nalar. Ia pun tumbuh dan semakin membesar apabila terdapat perbedaan yang semakin luas di antara pembanding-pembandingnya. 

Dalam Kajian Ushul Fiqh, kita mengenal istilah Qiyas (analogi). Qiyas menurut etimologis berarti mengukur (at taqdir). Menurut terminologi ushul fiqih, Qiyas adalah menyamakan (ilhaq) masalah cabang dengan masalah pokok dari segi hukum syara’ karena adanya kesamaan illat pada masalah cabang dan masalah pokok. Definisi Qiyas ini juga sekaligus menunjukkan adanya 4 (empat) rukun Qiyas, yaitu : (1) masalah pokok (al ashlu), (2) masalah cabang (al far’u), (3) hukum masalah pokok (hukm al ashli), dan (4) illat. 

Namun, menurut Camus, absurditas bukan merupakan suatu kesia-siaan seperti yang terlihat selama ini. Absurditas itu bersifat tidak terhingga. Camus menggambarkan kondisi ini menggunakan pendekatan mythe tentang Sisifus. Sisifus digambarkan oleh Homer sebagai raja bijak dari Korintus. 

Oleh karena kebijaksanaannya, ia memberitahukan kepada Asofus bahwa putrinya telah diculik oleh Zeus. Zeus yang marah atas pengaduan Sisifus, mengutuk Sisifus untuk mengangkat batu hingga ke puncak gunung. Namun ketika Sisifus telah sampai di puncak gunung, batu tersebut terjatuh. Sisifus kembali harus membawa bongkahan batu ke puncak gunung hingga tiada henti. Demikian terjadi secara berulang selamanya. Bila dinilai dalam bingkai fungsi, apa yang dilakukan Sisifus nampaklah sebagai suatu kesia–siaan.

Menurut Camus, apa yang dilakukan oleh Sisifus merupakan suatu bentuk absurditas nyata. Sebagai seorang raja yang bijak, Sisifus bersedia menerima kutukannya karena ia mengetahui esensi dari tindakannya: sebuah ke-absurditas-an. Namun, Sisifus dapat menggambarkan suatu bentuk absurditas mengenai usaha manusia ketika hidup di bumi. Apapun manfaat, fungsi dan akibat dari kehidupan seorang manusia, ia akan bertemu dengan kematian, yang membuktikan bahwa kehidupan manusia pada akhirnya menyimpulkan sebuah ke-absurditas-an.

Camus tidak memandang kisah Sisifus sebagai kesia-siaan tanpa nilai. Bahkan, ia mengajak kita untuk melihat Sisifus yang bahagia, yang mengisi hatinya dengan perjalanan menuju puncak gunung. Batu adalah dunia tak terbatas yang tidak dapat habis dijelajahi oleh manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun