Mohon tunggu...
Marjuni
Marjuni Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Fokus pada Manajemen Pendidikan Islam, Branding Strategy Lembaga Pendidikan Islam, Marketing Lembaga Pendidikan Islam, Kajian Pesantren, Kajian Pemikiran Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati: Antara Absurdisme dan Nihilisme

15 Februari 2023   00:22 Diperbarui: 15 Februari 2023   00:28 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukuman Mati (Merdeka.com:2015) 

Umat manusia tidak mampu mendapatkan kendali atas alam semesta yang begitu penuh dengan rahasia. Akibatnya, umurnya dibatasi, kesempatannya terbatas, kekuasaannya terbatas. Terlepas dari kenyataan bahwa umat manusia terus berharap, batasannya berarti bahwa harapan dapat runtuh kapan saja. Mempertimbangkan realitas ini, keberadaan manusia tampak "gokil" dan "gila". Adalah sebuah kebodohan jika manusia terjerembab pada keadaan yang cenderung menjerumuskan manusia ke dalam misteri kehidupan yang tidak bisa dipahami. 

Albert Camus menyatakan sepakat untuk menanggung kegilaan ini. Camus menamai kegilaan hidup dengan istilah "otentisitas hidup manusia". Artinya, hidup itu otentik, tidak perlu dimodifikasi, apalagi hanya untuk mengejar yang absurd. Mungkin orang lain akan menganggapmu gila, tapi kegilaanmu adalah performa otentikmu. Kejujuran dan "apa adanya" memungkinkan kita untuk eksis sebagai homo vivens (sempurnanya hidup manusia). Homo vivens mengacu pada mereka yang hidup sesuai dengan panggilan sejati (ajaran Tuhan) mereka sebagai pencipta dan pengelola kehidupan mereka sendiri. 

Sehingga jika manusia ingin hidup sempurna, tentunya harus mengikuti ajaran Tuhan (Gloria Dei, Vivens Homo). Sangat mungkin sesorang memiliki kesempurnaan biologis dan material, atau kesempurnaan status sosial ekonomi, namun belum tentu sempurna secara etis, akibat melanggar ajaran Tuhan. Manusia merindukan kebenaran universal sedangkan dunia hanya misteri, sehingga Camus menganggap kehidupan ini absurd. Jika kehidupan ini absurd, sementara dunia ini hanyalah misteri, lalu mengapa kebanyakan orang mengejar absurditas?

2. Perspektif Nihilisme

Budaya teistik (mengakui keberadaan Tuhan), seperti di Indonesia, bahwa pelaku pidana extra ordinary, yang dinilai layak menerima hukuman mati, adalah sebuah keadilan sekaligus perlindungan atas hak hidup setiap individu. Ketika kita percaya akan adanya keadilan, siapa yang menentukan adil atau tidaknya? Tuhan? Pemerintah? atau  Pengadilan?

Nihilisme dibedakan menjadi dua, nihilisme aktif dan nihilisme pasif. Nietzsche menyarankan kepada nihilisme aktif. Nihilisme aktif menemukan kebebasan dan ketenangan dalam ketiadaan. Nihilis menghapus nilai-nilai yang ada untuk menetapkan tujuan baru. Mereka tidak takut dengan fakta bahwa mereka tidak memiliki keyakinan agama. Oleh karena itu, manusia bebas menentukan pilihan hidup.

Berbeda dengan nihilis pasif, orang-orang ini termakan oleh keyakinan bahwa tidak ada yang bisa dipercaya dan bahwa hidup kurang penting; akibatnya, kesehatan mental dan fisik mereka akan memburuk. 

Persoalannya adalah jika kita mengikuti nihilisme aktif, dan memandang bahwa semua hal di dunia ini, termasuk ilmu pengetahuan sebagai subyektif, lalu, kita mau ngapain? 

Nihilisme aktif cenderung mengajak kita untuk mengabaikan hal-hal di luar "idealisme" kita. Mungkin kita melakukan perbuatan memfitnah orang, agar orang tersebut buruk di mata kebanyakan orang. Pertanyaannya adalah apakah sudah pasti orang yang kita fitnah itu akan dipandang buruk oleh mereka? Belum tentu, lalu mengapa kita berupaya keras untuk memfitnah orang, padahal hasilnya (goal) belum tentu juga terjadi, dan bahkan cenderung subyektif.

Apakah kita tidak pernah berpikir bahwa bagaimana itu bisa terjadi pada diri kita sendiri yang menjadi korban fitnah? Siapkah kita untuk menghadapi segala peliknya persoalan menghalau fitnah? Padahal pelaku fitnah sudah jelas-jelas mengakui subyektifitas dirinya. Mungkinkah Anda (korban fitnah) akan menemukan obyektifitas dalam bingkai subyektifitas? 

Perbedaan utama antara nihilis dan pesimis adalah bahwa nihilis masih mengharapkan kesempatan terkecil untuk mencapai harapan baru, sedangkan pesimis cenderung menyerah pada prospek tersebut. Bagi sebagian orang, ketika kita menerima bahwa kita hanyalah setitik kecil dalam luasnya kosmos, kita akan mengalami ketenangan yang lebih besar. Bebas dari ekspektasi dan juga lepas dari ikatan keyakinan (agama).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun