UU ini berpotensi memutus siklus itu. Dengan kata lain, undang-undang ini bukan hanya menghukum orang, melainkan juga menghukum uang.
Abuse atau Alasan?
Tentu, kekhawatiran abuse tetap perlu diperhatikan. Namun, itu bukan alasan untuk menolak.Â
Yang harus dilakukan adalah merancang mekanisme kontrol yang ketat. Misalnya, pengawasan publik, transparansi persidangan, hingga pembentukan badan independen yang tidak mudah diintervensi kekuasaan.Â
Ketakutan terhadap kriminalisasi justru bisa menjadi bahan untuk memperkuat pasal-pasal perlindungan hukum, bukan membatalkan seluruh gagasan.
Belajar dari Negara Lain
Praktik di negara lain bisa menjadi cermin. Inggris sudah menerapkan Unexplained Wealth Orders (UWO) sejak 2018. Aturan ini memungkinkan pengadilan memerintahkan seseorang untuk menjelaskan asal-usul kekayaan yang tidak wajar. Jika gagal, aset tersebut bisa dirampas negara. DiÂ
Italia, hukum perampasan aset digunakan dalam perang melawan mafia. Sejak 1982, negara bisa menyita properti dan bisnis mafia meskipun proses pidananya belum selesai. Hasilnya signifikan: banyak aset mafia dialihfungsikan menjadi fasilitas publik, mulai dari sekolah hingga pusat komunitas.Â
Sementara di Singapura, Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes Act memungkinkan perampasan aset tanpa perlu menunggu vonis final. Negara itu kini dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.
Harapan Publik
Bandingkan dengan Indonesia, di mana kasus seperti e-KTP atau korupsi bansos menyebabkan kerugian triliunan rupiah, namun aset yang benar-benar kembali ke kas negara hanya sebagian kecil.