Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) kembali menjadi sorotan publik setelah masuk dalam pembahasan serius di DPR. Salah satu partai besar, Golkar, menyuarakan kekhawatiran bahwa UU ini berpotensi menjadi alat abuse of power.Â
Dalam pemberitaan Kompas (18 September 2025), Golkar mengingatkan agar jangan sampai aturan ini justru menjadi senjata untuk mengkriminalisasi pihak tertentu, dengan dalih pemberantasan korupsi. Kekhawatiran itu sekilas tampak masuk akal, tetapi publik bertanya-tanya: benarkah demikian?
Pisau Bermata Dua
Pada dasarnya, semua undang-undang memang bisa menjadi alat abuse jika dijalankan oleh aparat penegak hukum yang tidak jujur. Hukum hanyalah instrumen, laksana sebilah pisau. Di tangan seorang koki, pisau menjadi alat memasak; di tangan penjahat, ia berubah menjadi alat kejahatan. Maka, bukan pisau yang salah, melainkan siapa yang memegangnya.Â
Begitu pula dengan UU Perampasan Aset. Jika aparat hukum bekerja dengan profesional, transparan, dan akuntabel, UU ini justru akan memperkuat perang melawan korupsi yang sudah lama membuat rakyat muak.
DPR dan Bayang-Bayang Korupsi
Menariknya, justru DPR kerap menjadi pihak yang paling keras menolak atau menunda pengesahan UU ini. Publik mulai bisa membaca arah dari sikap semacam itu.Â
Selama ini, cukup banyak anggota DPR yang terseret kasus korupsi. Setya Novanto, mantan Ketua DPR, divonis 15 tahun penjara karena korupsi proyek e-KTP senilai Rp2,3 triliun.Â
Lalu ada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, yang terjerat kasus korupsi bantuan sosial Covid-19.Â
Belum lagi nama-nama seperti Idrus Marham, Anas Urbaningrum, hingga sejumlah anggota DPRD yang nyaris tiap tahun menghiasi daftar terdakwa.Â