Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

UU Perampasan Aset: Mengapa Ditakuti DPR dan Partai Politik?

24 Mei 2025   13:30 Diperbarui: 24 Mei 2025   13:30 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi koruptor (epos.digi)

Hingga pertengahan tahun 2025, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset masih tertahan di meja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal, sejak era Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa RUU ini merupakan salah satu prioritas legislasi nasional. Namun kenyataannya, DPR seolah menghindar, menunda, dan mencari-cari alasan untuk tidak segera membahasnya. Mengapa?

Alasan-alasan yang dilontarkan DPR pun beragam: tidak mendesak, berpotensi merugikan hak warga negara, bisa menjadi alat kekuasaan, hingga alasan teknis legislasi. Namun, di balik semua itu, publik bertanya-tanya: apakah sesungguhnya RUU ini ditakuti karena menyasar langsung jantung persoalan korupsi di negeri ini?

Apa Itu UU Perampasan Aset?

RUU Perampasan Aset adalah rancangan undang-undang yang mengatur tentang penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tanpa menunggu putusan pidana inkracht (berkekuatan hukum tetap). Mekanisme ini dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture. Artinya, negara bisa menyita aset hasil kejahatan berdasarkan bukti kuat, bahkan jika pelaku belum divonis atau telah meninggal dunia, kabur, atau tidak diketahui keberadaannya.

Dasar hukumnya pun kuat. Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang merekomendasikan pendekatan ini sebagai salah satu cara paling efektif dalam pemberantasan korupsi lintas negara. Negara-negara seperti Swiss, Amerika Serikat, Australia, dan Inggris telah lebih dahulu menerapkannya.

Mengapa UU Perampasan Aset Efektif dan Ditakuti Koruptor?

RUU ini dianggap sangat efektif karena menyasar hal yang paling ditakuti koruptor: kehilangan kekayaan. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah menyatakan, "Koruptor tidak takut dipenjara, yang mereka takutkan adalah dimiskinkan. Dan itulah kekuatan dari Undang-Undang Perampasan Aset." (kompas.id)

Hingga saat ini, dari total potensi kerugian negara akibat korupsi yang mencapai Rp 61 triliun selama lima tahun terakhir (data KPK), hanya sekitar 10 persen yang berhasil dipulihkan ke kas negara. Tanpa UU ini, pemulihan aset terhambat oleh proses hukum yang panjang dan kompleks. Dengan mekanisme pembuktian terbalik dan pendekatan perdata, penyitaan bisa dilakukan lebih cepat dan efisien.

Studi dari Transparency International menunjukkan bahwa perampasan aset secara non-konvensional mempercepat pemulihan kerugian negara, khususnya dalam kasus-kasus transnasional di mana tersangka melarikan diri atau meninggal dunia sebelum diadili.

Contoh Penerapan di Negara Lain

Negara-negara yang telah menerapkan non-conviction based forfeiture menunjukkan hasil signifikan dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan terorganisasi:

Amerika Serikat: Melalui Civil Asset Forfeiture Reform Act, lembaga seperti FBI dan DEA rutin menyita aset hasil kejahatan bahkan sebelum ada putusan pengadilan pidana. Pada 2022, lebih dari USD 1,5 miliar aset berhasil disita dan sebagian dikembalikan kepada korban atau dimanfaatkan untuk kegiatan penegakan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun