Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dedi Mulyadi Digugat Sekolah Swasta Karena Rombel 50 Siswa: Kebijakan Pro-rakyat atau Pukul Rata?

6 Agustus 2025   19:17 Diperbarui: 7 Agustus 2025   12:36 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi.(Dok. Diskominfo Pemprov Jabar)

"Negara hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menciptakan konflik antar lembaga pendidikan."--- Refleksi atas kisruh antara pemerintah dan sekolah swasta di Jawa Barat.
---
Ketika kebijakan pemerintah dimaksudkan untuk memberi solusi, namun menimbulkan reaksi keras dari masyarakat, khususnya dari para pemangku kepentingan pendidikan, patutlah kita bertanya: apakah niat baik cukup bila tak disertai kebijaksanaan?

Inilah yang tengah terjadi di Jawa Barat. Dedi Mulyadi, tokoh populer dan penggagas kebijakan pendidikan yang cukup berani, kembali menjadi sorotan. Kali ini, ia digugat oleh perwakilan sekolah swasta terkait kebijakan membuka ruang belajar di sekolah negeri hingga 50 siswa per rombongan belajar (rombel). Sebuah langkah yang diklaim sebagai wujud dari "kewajiban negara" untuk memastikan setiap anak bisa bersekolah tanpa terbebani biaya mahal.

Namun, seperti pisau bermata dua, kebijakan ini menimbulkan luka. Bukan hanya pada sekolah swasta yang kehilangan murid, tapi juga pada kualitas proses belajar-mengajar yang terancam karena rombongan belajar yang membengkak.

Dedi Mulyadi (Suara.com)
Dedi Mulyadi (Suara.com)

Dedi Mulyadi: Berani, tapi Kurang Bijak?

Dalam pernyataannya, Dedi Mulyadi merasa digugat karena menjalankan kewajiban negara untuk mendidik. Ia bahkan menyindir sekolah swasta yang, menurutnya, merasa terancam karena tak lagi bisa 'berjualan' mahal. Ia menegaskan bahwa pendidikan adalah hak warga negara dan pemerintah wajib hadir menyediakan layanan gratis atau terjangkau.

Logika ini tentu tak salah, bahkan sejalan dengan amanat konstitusi. Namun yang menjadi sorotan adalah narasi dan pendekatannya: menyederhanakan persoalan pendidikan menjadi sekadar angka rombel dan menyalahkan sekolah swasta atas kegagalan mereka bersaing.

Padahal, sekolah swasta---terutama di wilayah pedesaan dan daerah tertinggal---telah lama hadir sebagai penyelamat ketika negara belum mampu membangun sekolah negeri. Mereka adalah mitra pembangunan pendidikan, bukan pesaing yang harus disingkirkan.

"Jika kita ingin melangkah cepat, berjalanlah sendiri. Jika ingin melangkah jauh, berjalanlah bersama."
--- Pepatah Afrika yang seharusnya menjadi inspirasi dalam merumuskan kebijakan publik.

Sekolah Swasta: Pilar Penting Pendidikan Nasional

Data Kemendiknas tahun 2024 mencatat bahwa dari sekitar 300.000 satuan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, lebih dari 40% adalah sekolah swasta. Mereka mendidik jutaan siswa dari Sabang hingga Merauke. Di banyak wilayah, sekolah swasta menjadi satu-satunya harapan ketika sekolah negeri belum hadir.

Sebagian dari sekolah swasta ini dikelola oleh yayasan keagamaan, masyarakat adat, hingga komunitas lokal yang berdedikasi tinggi namun minim subsidi. Sering kali mereka justru menerima siswa dengan kondisi ekonomi lemah, dengan biaya operasional yang pas-pasan.

Maka, ketika kebijakan pemerintah mendadak membanjiri sekolah negeri dengan rombel berisi 50 siswa per kelas, dampaknya langsung terasa. Sekolah swasta kehilangan murid, guru mereka kehilangan penghasilan, dan dalam jangka panjang bisa mematikan keberlangsungan pendidikan alternatif yang sudah lebih dulu eksis.

Rombel 50 Siswa: Kuantitas Menggerus Kualitas?

Selain persoalan persaingan, substansi utama dari gugatan ini sebenarnya menyasar pada kualitas pembelajaran.

Penelitian oleh UNESCO menyebutkan bahwa idealnya rasio guru dan murid adalah 1:25 untuk pendidikan dasar dan menengah. Di atas angka itu, efektivitas pembelajaran menurun drastis. Dengan rombel berisi 50 siswa, guru akan kesulitan memberikan perhatian individual, menilai secara adil, dan menciptakan suasana belajar yang interaktif.

Pemerintah boleh saja berdalih bahwa dengan 50 siswa per kelas, lebih banyak anak bisa bersekolah. Tapi siapa yang menjamin bahwa mereka belajar dengan baik di kelas yang padat seperti angkutan umum di jam pulang kerja?

"Pendidikan bukan soal mengisi ember, tetapi menyalakan api." --- William Butler Yeats

Jika kelas terlalu penuh, apakah api itu akan menyala, atau justru padam sebelum sempat membara?

MK Sudah Tegaskan: Sekolah Swasta Juga Wajib Didukung

Yang tak kalah penting, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa pendidikan gratis juga berlaku bagi sekolah swasta, terutama bagi siswa dari keluarga miskin. Negara berkewajiban memberikan subsidi dan dukungan yang proporsional kepada sekolah swasta sebagai bentuk keadilan dan pemerataan akses pendidikan.

Dengan demikian, solusi seharusnya bukan hanya menambah jumlah siswa di sekolah negeri, tapi juga memperkuat kolaborasi dengan sekolah swasta: memberikan bantuan operasional, pengembangan kompetensi guru, hingga penyediaan beasiswa bagi siswa kurang mampu di sekolah swasta.

Menata Ulang Narasi Dedi Mulyadi

Alih-alih menyalahkan sekolah swasta, Dedi Mulyadi seharusnya merangkul mereka sebagai mitra. Pendidikan bukan ajang kompetisi bebas, melainkan kolaborasi. Ia bisa saja mempertahankan niat baiknya membantu rakyat miskin, tapi disertai komunikasi yang inklusif dan data yang akurat.

"Kebijakan yang baik bukan hanya lahir dari niat yang baik, tapi juga dari keberanian untuk mendengarkan."

Bersikap sebagai pahlawan tunggal yang menyelamatkan anak miskin dari "komersialisasi" pendidikan justru berisiko menciptakan polarisasi. Apalagi jika diikuti langkah sepihak tanpa kajian mendalam.

Menuju Solusi: Bukan Menang-Menangan, Tapi Menang Bersama

Agar polemik ini tidak terus membesar, ada beberapa langkah solutif yang bisa ditempuh:

1. Evaluasi Rombel 50: Pemerintah daerah bersama Dinas Pendidikan dan para guru perlu mengkaji ulang dampak rombel besar terhadap kualitas belajar. Kuantitas tak boleh mengorbankan kualitas.

2. Subsidi Sekolah Swasta: Alih-alih membuat sekolah swasta "mati suri", dorong kolaborasi anggaran dan program bantuan bagi mereka, terutama yang melayani siswa dari keluarga tidak mampu.

3. Dialog Terbuka: Dedi Mulyadi perlu memfasilitasi forum bersama sekolah negeri dan swasta, untuk membahas solusi bersama dan menjadikan pendidikan sebagai gerakan kolektif, bukan kebijakan individualistik.

4. Kampanye Anti-Stigma: Jangan lagi sebar narasi bahwa sekolah swasta adalah ladang bisnis dan sekolah negeri adalah penyelamat. Keduanya punya peran strategis dan saling melengkapi.

---
Penutup: Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Bersama
Dalam dunia yang terus berubah, pendidikan tetap menjadi pilar peradaban. Tapi ia tak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan negara, komunitas, dan individu untuk saling bahu-membahu. Dedi Mulyadi mungkin punya niat baik, tapi arah dan cara mewujudkannya perlu ditata ulang.

Karena seperti kata Ki Hajar Dewantara, "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu."

Dan tuntunan terbaik hanya lahir dari kebijakan yang adil, kolaboratif, dan berlandaskan rasa hormat kepada semua pelaku pendidikan---baik negeri maupun swasta.***MG
---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun