Dengan demikian, solusi seharusnya bukan hanya menambah jumlah siswa di sekolah negeri, tapi juga memperkuat kolaborasi dengan sekolah swasta: memberikan bantuan operasional, pengembangan kompetensi guru, hingga penyediaan beasiswa bagi siswa kurang mampu di sekolah swasta.
Menata Ulang Narasi Dedi Mulyadi
Alih-alih menyalahkan sekolah swasta, Dedi Mulyadi seharusnya merangkul mereka sebagai mitra. Pendidikan bukan ajang kompetisi bebas, melainkan kolaborasi. Ia bisa saja mempertahankan niat baiknya membantu rakyat miskin, tapi disertai komunikasi yang inklusif dan data yang akurat.
"Kebijakan yang baik bukan hanya lahir dari niat yang baik, tapi juga dari keberanian untuk mendengarkan."
Bersikap sebagai pahlawan tunggal yang menyelamatkan anak miskin dari "komersialisasi" pendidikan justru berisiko menciptakan polarisasi. Apalagi jika diikuti langkah sepihak tanpa kajian mendalam.
Menuju Solusi: Bukan Menang-Menangan, Tapi Menang Bersama
Agar polemik ini tidak terus membesar, ada beberapa langkah solutif yang bisa ditempuh:
1. Evaluasi Rombel 50: Pemerintah daerah bersama Dinas Pendidikan dan para guru perlu mengkaji ulang dampak rombel besar terhadap kualitas belajar. Kuantitas tak boleh mengorbankan kualitas.
2. Subsidi Sekolah Swasta: Alih-alih membuat sekolah swasta "mati suri", dorong kolaborasi anggaran dan program bantuan bagi mereka, terutama yang melayani siswa dari keluarga tidak mampu.
3. Dialog Terbuka: Dedi Mulyadi perlu memfasilitasi forum bersama sekolah negeri dan swasta, untuk membahas solusi bersama dan menjadikan pendidikan sebagai gerakan kolektif, bukan kebijakan individualistik.
4. Kampanye Anti-Stigma: Jangan lagi sebar narasi bahwa sekolah swasta adalah ladang bisnis dan sekolah negeri adalah penyelamat. Keduanya punya peran strategis dan saling melengkapi.