Nama Dedi Mulyadi kembali mencuat dalam perbincangan publik. Kali ini bukan karena gaya kampanye khas ala Sunda atau celotehan bernuansa budaya yang kerap mencuri perhatian, melainkan sederet kebijakan sebagai Gubernur Jawa Barat yang dinilai kontroversial, populis, dan beraroma hitam-putih.Â
Mulai dari larangan study tour dan acara perpisahan sekolah, pembongkaran pusat rekreasi senilai Rp50 miliar di Puncak, hingga program "militerisasi" siswa bermasalah ke barak tentara---semuanya mengundang respons beragam, dari pujian karena dianggap tegas, hingga kritik tajam karena dinilai reaktif dan kurang komprehensif.
Melarang untuk Melindungi?
Larangan kegiatan study tour dan perpisahan sekolah yang dikeluarkan melalui Surat Edaran Gubernur menuai diskursus luas. Argumen utama Dedi Mulyadi adalah keresahan orang tua mengenai biaya tinggi serta sejumlah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan siswa. Di sisi lain, kegiatan semacam ini selama puluhan tahun menjadi ruang pembelajaran kontekstual, mempererat kebersamaan, dan menyambungkan materi pelajaran dengan realita di luar kelas.
Menurut data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, sektor wisata edukatif yang melibatkan siswa menyumbang hingga 12% dari total kunjungan wisata domestik ke kawasan-kawasan seperti Lembang, Puncak, dan Ciwidey pada 2023. Kebijakan larangan ini dinilai memukul pelaku UMKM dan industri perjalanan yang bergantung pada musim study tour dan libur sekolah. Alih-alih larangan total, banyak pihak menyarankan pengaturan ulang: pembatasan biaya, pengawasan penyelenggara, serta edukasi keamanan perjalanan.
Perpisahan Sekolah: Pemborosan atau Tradisi Edukatif?
Dalam kebijakan berikutnya, Dedi juga melarang acara perpisahan siswa yang dianggap hanya memboroskan uang orang tua. Lagi-lagi, argumennya tampak membumi: membantu keluarga tidak mampu. Namun, pendekatan yang terlalu generalisasi berisiko mengabaikan nilai emosional dan sosial dari perayaan kelulusan.
Sosiolog pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dr. Eti Rohayati, menyebut bahwa acara perpisahan adalah bagian dari proses transisi emosional siswa, membantu mereka memaknai pencapaian akademik, dan menjalin memori kolektif. "Solusinya bukan melarang, tetapi membimbing sekolah untuk merancang acara sederhana, bermakna, dan inklusif," ujarnya.
Pembongkaran Pusat Rekreasi Rp50 Miliar: Solusi Banjir atau Simbol Gagal Tata Kelola?
Langkah Dedi membongkar bangunan baru senilai Rp50 miliar di kawasan Puncak demi menanggulangi banjir mendapat sorotan keras. Bangunan yang konon dibiayai dari APBD kabupaten menjadi tumbal pertama dari kampanye penertiban ruang hijau dan drainase alami di dataran tinggi. Namun publik bertanya-tanya: mengapa bangunan itu bisa berdiri sejak awal? Siapa yang mengeluarkan izinnya? Siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara?
Fakta lapangan menunjukkan, kawasan Puncak memang mengalami alih fungsi lahan secara masif selama dua dekade terakhir. Menurut data KLHK (2023), lebih dari 3.000 hektare lahan hijau telah beralih fungsi menjadi bangunan komersial dan vila. Jika pembongkaran hanya menyasar satu proyek yang legalitasnya masih dipertanyakan, efektivitas penanganan banjir pun patut dipertanyakan.
Pendidikan Ala Militer untuk Anak Bermasalah: Disiplin atau Represi?
Kebijakan terbaru yang juga mengundang polemik adalah pengiriman siswa bermasalah ke barak militer untuk mendapat pembinaan disiplin. Meski niatnya membentuk karakter dan tanggung jawab, pendekatan ini dinilai terlalu militeristik dan bisa menimbulkan trauma psikologis.