Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Kita Darurat Integritas

26 April 2025   18:30 Diperbarui: 26 April 2025   19:37 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan (detik.com)


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan kita akan rapuhnya fondasi integritas di lingkungan pendidikan. Melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, KPK mencatat bahwa praktik menyontek masih ditemukan di 78 persen sekolah dan 98 persen kampus di Indonesia.

Temuan ini menunjukkan bahwa praktik ketidakjujuran akademik bukan sekadar insiden sesaat, melainkan telah menjadi gejala sistemik. Ironisnya, hal itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi pilar utama pembentukan karakter generasi bangsa.

Data ini menjadi cermin buram wajah pendidikan kita hari ini: sistem yang terlalu menekankan hasil akhir dan nilai akademis, namun alpa membina kejujuran, etika, dan integritas.

Lebih dari Sekadar Menyontek

Menyontek kerap dianggap "dosa kecil", pembenarannya pun banyak: tekanan akademik, persaingan masuk kerja, bahkan lemahnya pengawasan. Padahal, praktik ini adalah bentuk ketidakjujuran yang menjadi gerbang awal menuju mentalitas koruptif.

Tak bisa dimungkiri, perilaku korup tidak muncul secara tiba-tiba saat seseorang menduduki jabatan publik. Ia adalah akumulasi kebiasaan yang dimaklumi sejak dini---termasuk ketika seorang pelajar terbiasa menyontek tanpa konsekuensi.

Jika sistem pendidikan membiarkan praktik tidak jujur ini berulang, jangan heran jika nanti kita menuai generasi profesional yang cemerlang di atas kertas, tetapi rapuh dalam etika.

Salah Arah Sistemik

Fenomena menyontek secara masif ini tak bisa semata-mata dilihat sebagai kesalahan individu siswa atau mahasiswa. Persoalan ini mencerminkan kegagalan sistem yang terlalu fokus pada capaian akademik dan kompetisi, namun mengabaikan pembinaan nilai-nilai luhur.

Kurangnya penanaman pendidikan karakter yang konsisten, minimnya keteladanan dari pendidik, serta perubahan kurikulum yang cenderung pragmatis turut memperburuk keadaan. Sekolah dan kampus menjadi ruang kompetitif yang menghargai hasil lebih daripada proses.

Sistem evaluasi pun lebih sering menghargai kecepatan dan skor tinggi ketimbang pemahaman dan kejujuran. Dalam atmosfer semacam ini, menyontek dianggap solusi pragmatis untuk "bertahan", bukan sebagai pelanggaran nilai.

Tantangan Reformasi Pendidikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun