Sudah saatnya kita meninjau ulang orientasi pendidikan secara menyeluruh. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, harus melihat persoalan ini sebagai darurat integritas nasional.
Reformasi pendidikan bukan hanya soal revisi kurikulum atau digitalisasi sekolah, melainkan bagaimana menanamkan nilai moral dan karakter secara berkelanjutan. Beberapa langkah konkret perlu dilakukan:
Pertama, integrasi pendidikan antikorupsi secara sistemik dan aplikatif di seluruh jenjang pendidikan. Pendidikan karakter tak boleh sekadar pelengkap atau kegiatan insidental.
Kedua, reformasi sistem evaluasi pendidikan agar tak hanya mengukur kognitif, tetapi juga aspek afektif dan perilaku. Nilai kejujuran harus menjadi indikator utama, bukan sekadar pelengkap.
Ketiga, membangun keteladanan dari para guru dan dosen, karena pendidikan yang paling efektif adalah melalui contoh nyata. Ketika pendidik menunjukkan integritas, murid akan meneladani.
Keempat, memperkuat regulasi dan pengawasan akademik, termasuk pemanfaatan teknologi untuk mencegah praktik curang dan plagiarisme.
Kelima, mengapresiasi sekolah dan kampus yang membuktikan keberhasilan membangun budaya jujur dan transparan.
Menghidupkan "Berani Jujur Hebat"
Slogan "Berani Jujur Hebat" yang diusung KPK harus dibangkitkan kembali, bukan hanya dalam spanduk atau acara seremoni, tetapi melalui perubahan nyata di lingkungan pendidikan.
Jika menyontek telah menjadi fenomena 98 persen kampus dan 78 persen sekolah, maka kita tengah berada dalam ancaman besar. Kita berisiko kehilangan generasi yang memiliki etos kerja, rasa malu, dan tanggung jawab.
Pendidikan tak boleh hanya mencetak manusia unggul secara intelektual, tetapi juga unggul secara moral. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap elite dan institusi, hanya pendidikan berintegritas yang bisa memulihkan kepercayaan itu.
Membangun bangsa tidak bisa hanya lewat pembangunan fisik dan digitalisasi. Kita butuh pembangunan karakter yang mendalam, dan itu harus dimulai dari sekolah dan kampus.