Ketika dunia pendidikan global bergerak ke arah pengembangan kreativitas, kolaborasi, dan kemandirian, Jawa Barat justru melirik pendekatan lama: pendidikan bergaya militeristik. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, merancang program enam bulan pendidikan ala barak militer bagi siswa SMK/SLTA bermasalah.
Niat memperbaiki kualitas karakter generasi muda tentu patut dihargai. Namun, pilihan metode militeristik---dengan unsur paksaan, komando satu arah, dan minim ruang dialog---perlu dipertanyakan: apakah ini jawaban, atau justru jalan pintas yang penuh risiko?
Menyederhanakan Masalah Kompleks
Kenakalan pelajar bukan fenomena sederhana. Data Dinas Pendidikan Jawa Barat menunjukkan, sekitar 7,8% siswa SMK terlibat masalah indisipliner sepanjang 2023/2024. Namun di balik angka itu ada banyak faktor: tekanan ekonomi, lingkungan keluarga, krisis identitas, hingga masalah kesehatan mental.
Menyikapi ini dengan solusi satu dimensi---barak militer---sama saja menyederhanakan masalah kompleks menjadi persoalan ketidakdisiplinan belaka. Padahal, sebagaimana diungkap laporan UNESCO Global Education Monitoring Report (2023), pendekatan represif dalam pendidikan justru memperbesar risiko dropout dan alienasi sosial.
Militerisme dalam Pendidikan: Ketidakcocokan Fundamental
Pendidikan militer bertujuan membentuk prajurit siap tempur, bukan warga negara kritis. Instruksi tanpa debat, taat tanpa bertanya, dan solidaritas dalam struktur hierarkis menjadi norma. Dalam dunia militer, ini niscaya dan vital.
Namun dalam pendidikan umum, tujuannya berbeda: membangun manusia merdeka, yang berpikir rasional, kreatif, dan etis. Sistem pendidikan nasional kita, melalui Kurikulum Merdeka, justru menggarisbawahi pentingnya agency peserta didik: hak untuk berpikir, memilih, dan mengambil keputusan.
Gaya militeristik, dengan tekanan pada paksaan dan ketundukan, bertolak belakang dengan misi tersebut. Alih-alih membentuk pribadi kuat, ia berpotensi menghasilkan generasi apatis, takut bertanya, dan mudah tunduk pada otoritas---sebuah ironi pahit dalam demokrasi muda seperti Indonesia.
Antara Disiplin dan Ketakutan
Mitos bahwa militerisme mencetak pribadi disiplin perlu dibedah. Disiplin yang tumbuh dari ketakutan berbeda jauh dari disiplin yang lahir dari kesadaran. Yang pertama rapuh; yang kedua bertahan seumur hidup.
Dalam studi The Effects of Military Schooling on Civic Behavior (Journal of Educational Research, 2021), siswa yang dididik dengan pendekatan militer cenderung menunjukkan kepatuhan tinggi dalam jangka pendek, tetapi mengalami kesulitan beradaptasi dalam lingkungan yang membutuhkan kreativitas, negosiasi, dan inovasi.