Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan dengan Gaya Militeristik: Solusi atau Jalan Pintas Berbahaya?

28 April 2025   07:52 Diperbarui: 28 April 2025   07:52 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dedi Mulyadi Gubernur Jabar (Kompas.com)


Ketika dunia pendidikan global bergerak ke arah pengembangan kreativitas, kolaborasi, dan kemandirian, Jawa Barat justru melirik pendekatan lama: pendidikan bergaya militeristik. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, merancang program enam bulan pendidikan ala barak militer bagi siswa SMK/SLTA bermasalah.

Niat memperbaiki kualitas karakter generasi muda tentu patut dihargai. Namun, pilihan metode militeristik---dengan unsur paksaan, komando satu arah, dan minim ruang dialog---perlu dipertanyakan: apakah ini jawaban, atau justru jalan pintas yang penuh risiko?

Menyederhanakan Masalah Kompleks

Kenakalan pelajar bukan fenomena sederhana. Data Dinas Pendidikan Jawa Barat menunjukkan, sekitar 7,8% siswa SMK terlibat masalah indisipliner sepanjang 2023/2024. Namun di balik angka itu ada banyak faktor: tekanan ekonomi, lingkungan keluarga, krisis identitas, hingga masalah kesehatan mental.

Menyikapi ini dengan solusi satu dimensi---barak militer---sama saja menyederhanakan masalah kompleks menjadi persoalan ketidakdisiplinan belaka. Padahal, sebagaimana diungkap laporan UNESCO Global Education Monitoring Report (2023), pendekatan represif dalam pendidikan justru memperbesar risiko dropout dan alienasi sosial.

Militerisme dalam Pendidikan: Ketidakcocokan Fundamental

Pendidikan militer bertujuan membentuk prajurit siap tempur, bukan warga negara kritis. Instruksi tanpa debat, taat tanpa bertanya, dan solidaritas dalam struktur hierarkis menjadi norma. Dalam dunia militer, ini niscaya dan vital.

Namun dalam pendidikan umum, tujuannya berbeda: membangun manusia merdeka, yang berpikir rasional, kreatif, dan etis. Sistem pendidikan nasional kita, melalui Kurikulum Merdeka, justru menggarisbawahi pentingnya agency peserta didik: hak untuk berpikir, memilih, dan mengambil keputusan.

Gaya militeristik, dengan tekanan pada paksaan dan ketundukan, bertolak belakang dengan misi tersebut. Alih-alih membentuk pribadi kuat, ia berpotensi menghasilkan generasi apatis, takut bertanya, dan mudah tunduk pada otoritas---sebuah ironi pahit dalam demokrasi muda seperti Indonesia.

Antara Disiplin dan Ketakutan

Mitos bahwa militerisme mencetak pribadi disiplin perlu dibedah. Disiplin yang tumbuh dari ketakutan berbeda jauh dari disiplin yang lahir dari kesadaran. Yang pertama rapuh; yang kedua bertahan seumur hidup.

Dalam studi The Effects of Military Schooling on Civic Behavior (Journal of Educational Research, 2021), siswa yang dididik dengan pendekatan militer cenderung menunjukkan kepatuhan tinggi dalam jangka pendek, tetapi mengalami kesulitan beradaptasi dalam lingkungan yang membutuhkan kreativitas, negosiasi, dan inovasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun