Kembali kita dikejutkan berita buruk MBG (Makanan Bergizi Gratis) menyebabkan ribuan pelajar keracunan makanan.Â
Suatu peristiwa bertolak belakang dengan tujuan utama diluncurkan program makan bergizi gratis ini sebagai upaya mengatasi gizi buruk untuk mencapai generasi yang sehat, cerdas dan berprestasi.
Secara inplisit program ini juga diharapkan sebagai stimulus ekonomi di akar rumput di tengah kondisi perekonomian domestik dan global yang sedang tidak baik-baik saja. Dengan melibatkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam penyedian bahan makanan dan pengolahan diharapkan meningkatkan gairah ekonomi lokal.
Namun sejak awal kehadiran program ini tidak luput dari kontraversi, terutama gugatan terhadap efektivitasnya. Terutama kekuatiran terhadap tata kelola keuangan atau anggaran yang begitu besar, ratusan triliun, rawan jadi bancakan atau korupsi, bahkan bisa memicu pelebaran defesit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Ironisnya, walaupun di awal disebut akan mengutamakan UMKM terlibat dalam program ini, ternyata ada indikasi justru kontraktor besar, pemasok besar, kader partai tertentu, dan oknum lingkaran kekuasaan yang berkecimpung dalam program ini yang dikuatirkan menjadikannya justru sebagai lahan bisnis mencari keuntungan besar.
EVALUASI DAN KONFLIK KEPENTINGAN
Kasus keracunan yang timbul terkait program MBG Â (foodborne Illness)Â ini telah menjadi isu besar, dan banyak pihak memandang perlu dilakukan evaluasi lebih mendalam, atau evaluasi total karena program yang telah dijalankan menimbulkan persoalan serius dan mengkuatirkan.
Sejak diluncurkan sekitar awal tahun 2025, telah terjadi beberapa kasus keracunan massal di berbagai daerah karena kualitas makanan terkontaminasi bakteri E.Coli dan Salmonella yang menyebabkan gangguan kesehatan, keracunan, bahkan kondisi itu dapat dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Beberapa kasus yang terpublikasi, keracunan di Kupang, Juli 2025, sebanyak 140 kena gejala diare, mual dan muntah. Pada Bulan Mei 2025 sebanyak 210 pelajar keracunan. Â Pada bulan September 2025 terjadi kasus lebih besar menimpa 657 pelajar di Garut, Jawa Barat, dan 173 siswa di Rembang, Jawa Tengah.
Dugaan dan hasil laboratorium menunjukkan penyebab keracunan adalah rendahnya higienitas makanan, suhu makanan dan adanya kontaminasi bakteri. Hal ini dapat terjadi karena diduga  bersumber dari berbagai kelemahan sistemik di sepanjang rantai penyediaan makanan.