Gonjang-ganjing soal dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) memasuki babak baru. Pada akhir April 2025, Presiden ketujuh Republik Indonesia itu secara resmi melaporkan sejumlah pihak ke Polda Metro Jaya dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tindakan ini memicu gelombang perdebatan, baik dari kalangan hukum, akademisi, hingga masyarakat sipil.
Langkah Jokowi dinilai sebagian pihak sebagai upaya untuk membela nama baik dan memperjelas polemik yang telah berlangsung bertahun-tahun. Namun, tak sedikit pula yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap kritik publik, salah satunya datang dari mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad.
"Ini preseden buruk bagi demokrasi," kata Abraham dalam wawancara di salah satu stasiun televisi nasional. Menurutnya, laporan pidana terhadap tuduhan publik---meskipun keliru---berpotensi menggerus kebebasan berekspresi dan menebar ketakutan bagi publik yang ingin bersuara kritis.
Namun, benarkah demikian? Apakah kritik terhadap keaslian ijazah seorang presiden bisa dikategorikan sebagai kritik sah? Ataukah sudah melampaui batas dan menjadi fitnah yang layak diproses hukum?
---
Kronologi Singkat: Polemik Ijazah dan Respons Jokowi
Polemik ijazah Jokowi bukan hal baru. Sejak tahun 2019, tudingan soal keaslian ijazah Jokowi---baik dari jenjang SMA maupun Universitas Gadjah Mada---muncul silih berganti di berbagai kanal media sosial. Salah satu yang paling kontroversial adalah gugatan perdata yang diajukan Bambang Tri Mulyono ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2022, yang kemudian ditolak hakim karena tidak memiliki dasar hukum yang cukup.
Namun polemik ini tidak berhenti. Tuduhan terus bergulir di media sosial, diperkuat oleh narasi-narasi spekulatif dari berbagai tokoh, termasuk sejumlah akademisi dan aktivis. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden per 20 Oktober 2024, Jokowi akhirnya mengambil langkah hukum. Ia menyatakan bahwa sebagai rakyat biasa, ia berhak membersihkan namanya dari fitnah yang dinilainya terus menerus dan tidak berdasar.
---
Kritik, Fitnah, dan Pencemaran Nama Baik: Mana Batasnya?
Untuk memahami duduk perkara, perlu dibedakan secara hukum antara kritik, fitnah, dan pencemaran nama baik. Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kritik merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Namun, dalam konteks hukum pidana, fitnah adalah pemberitahuan tidak benar yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak reputasi seseorang.