Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Dalam sistem seperti ini, kebebasan berpendapat harus dijamin, namun juga ada batas hukum yang melindungi kehormatan pribadi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 bahkan menyatakan bahwa "kebebasan berekspresi tidak bersifat absolut."
Dalam data yang dihimpun oleh SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), sepanjang 2024 tercatat ada 132 kasus jerat hukum berbasis UU ITE terkait penghinaan atau pencemaran nama baik. Namun, dalam 70 persen kasus tersebut, pelapornya adalah pejabat aktif atau politisi. Laporan dari warga biasa---seperti yang dilakukan Jokowi kini---terbilang langka.
---
Harus Seimbang
Pernyataan Abraham Samad layak dihargai sebagai bentuk pengingat atas pentingnya menjaga ruang demokrasi tetap terbuka. Namun, tuduhan yang menyatakan Jokowi "membungkam publik" juga perlu dikritisi, sebab laporan hukum terhadap fitnah tidak serta-merta menjadi pembatasan terhadap kritik yang sah.
Yang perlu dijaga adalah: agar aparat penegak hukum, dalam menyidik laporan ini, tetap objektif, transparan, dan tidak represif. Jangan sampai langkah hukum justru dipersepsikan sebagai alat intimidasi terhadap kebebasan sipil.
Kritik harus tetap hidup, tapi fitnah tak boleh dibiarkan tumbuh liar.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI