Di tengah geliat demokrasi yang makin matang, publik Indonesia kembali dihadapkan pada fenomena lama yang tak kunjung padam: tuduhan bahwa ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) palsu.
Tuduhan yang sejatinya telah dijawab tuntas secara akademik, hukum, bahkan moral ini, entah mengapa tetap saja menjadi komoditas bagi segelintir pihak. Isu yang bermula lebih dari satu dekade lalu ini terus bermetamorfosis, dari narasi media sosial hingga gugatan hukum, dan kini merambah ke kritik terhadap... font skripsi.
Baru-baru ini, seorang yang mengaku ahli telematika kembali memantik kontroversi. Ia menyatakan bahwa skripsi Jokowi mencurigakan karena menggunakan font "Times New Roman" --- yang menurutnya belum tersedia pada saat Jokowi menulis skripsinya di awal 1980-an. Tanpa menghiraukan penjelasan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bahwa font tersebut sudah digunakan di lingkungan akademik dan tersedia dalam mesin ketik elektronik sejak akhir 1970-an, tuduhan itu kembali ramai disebar, seolah fakta tak pernah diucapkan.
Sudah Dijelaskan, Namun Tak Mau Mendengar
Universitas Gadjah Mada sebagai institusi yang menerbitkan ijazah Jokowi sudah memberikan penegasan berkali-kali. Dalam berbagai pernyataan resmi, UGM menyatakan bahwa Jokowi adalah mahasiswa sah yang lulus dari Fakultas Kehutanan pada tahun 1985. Bahkan, teman-teman seangkatan hingga dosen pembimbing turut bersaksi bahwa Jokowi memang benar menjalani seluruh proses akademik sebagaimana mestinya.
Tak hanya itu, pada tahun 2022, pengadilan negeri Jakarta Pusat telah menolak gugatan yang menuding ijazah Jokowi palsu. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa tuduhan tidak disertai alat bukti yang sahih dan bertentangan dengan prinsip hukum bahwa beban pembuktian ada di tangan pihak penuduh.
Namun apa lacur? Penjelasan akademik dituding sebagai "rekayasa institusional." Putusan hukum dinilai "tak netral." Dan kesaksian teman kuliah dianggap "skenario yang dibuat." Di mata para penuduh, semua bukti adalah palsu --- kecuali keyakinan mereka sendiri.
Bukan Lagi Soal Ijazah, Tapi Ketakpercayaan Sistemik
Mengapa isu ini terus berlanjut meski fakta sudah terang? Jawabannya mungkin lebih dalam daripada sekadar kebencian personal terhadap Jokowi. Tuduhan ijazah palsu mencerminkan krisis kepercayaan yang lebih luas terhadap institusi negara, sistem pendidikan, bahkan kebenaran objektif itu sendiri. Di era pascakebenaran (post-truth), emosi dan persepsi pribadi seringkali lebih dipercaya dibandingkan bukti ilmiah.
Kita menyaksikan pola yang mirip dengan komunitas "flat earther" --- mereka yang meyakini bumi datar walau sains modern menyatakan sebaliknya. Bukti demi bukti tak mampu menggoyahkan keyakinan yang telah menjadi dogma. Dalam konteks ini, ijazah Jokowi bukan lagi dokumen akademik, tapi simbol ideologis. Apa pun bentuk bukti yang ditunjukkan, akan selalu ditolak jika tidak sesuai dengan narasi yang mereka percaya.