Air Mata Pertiwi di Gedung Rakyat
Â
Pertiwi menunduk,
air matanya mengalir deras,
bukan karena hujan,
tapi karena putra-putrinya lupa janji suci
saat tangan mereka diangkat tinggi
bersumpah demi rakyat,
namun kini terbuai kursi empuk dan angka-angka mewah.
Gedung megah di Senayan
bukan lagi rumah pengabdian,
melainkan istana keangkuhan
yang menutup telinga pada jerit lapar di sawah,
pada ibu yang menghitung receh di pasar,
pada buruh yang pulang dengan gaji tak seberapa.
Fasilitas gemerlap dipertahankan, sementara sekolah reyot dibiarkan
Apakah itu bahasa pengabdian?
Apakah itu wajah keadilan?
Sedang anak negeri
masih duduk di bangku reyot,
menghafal mimpi dengan perut kosong.
Pertiwi kecewa,
ia menangis di jalan-jalan,
bersama ribuan mahasiswa yang menggenggam poster,
bersama teriakan lantang:
"Batalkan tunjangan keserakahan!"
"Dengarkan suara kami,
yang hidupnya tak pernah kau tatap!"
Tangis Pertiwi berubah jadi api,
membakar kesadaran di dada pemuda,
mereka turun ke aspal,
menjadi suara yang tak bisa dibungkam,
menjadi langkah yang tak bisa dihentikan,
meski gas air mata merobek langit,
meski pentungan mencoba membungkam lidah.
Pertiwi masih menangis,
namun air matanya kini bercampur nyala,
menjadi sumpah di dada generasi,
bahwa negeri ini tak boleh terus dirampok,
bahwa kursi rakyat harus kembali pada rakyat,
bahwa janji suci tak boleh lagi dikubur
di balik amplop dan tunjangan mewah.
Namun di balik tangisnya,
Pertiwi masih menyimpan doa,
bahwa dari jalan-jalan yang dipenuhi teriakan,
akan lahir pemimpin yang mengerti arti pengabdian,
pemimpin yang tak silau oleh angka-angka mewah,
pemimpin yang menukar kemegahan
dengan ketulusan bekerja untuk rakyat.
Air matanya kini menjadi benih,
menyuburkan tekad anak bangsa
yang bersumpah menjaga negeri ini,
agar keadilan tak hanya jadi kata,
agar kesejahteraan tak hanya jadi janji,
agar kursi kekuasaan kembali berarti:
mengabdi, bukan menikmati.