Mohon tunggu...
Maria Nova Juliana Manalu
Maria Nova Juliana Manalu Mohon Tunggu... Penulis

"Hai! Saya Maria Nova Juliana Manalu, seorang penulis yang tertarik dengan isu-isu sosial, pendidikan, dan perkembangan masyarakat. Saya percaya bahwa tulisan adalah salah satu cara untuk menyuarakan kebenaran, memberi inspirasi, serta membangun kesadaran. Mari berdiskusi dan berbagi perspektif demi perubahan yang lebih baik."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bubarkann DPR, Realistis atau Reformasi yang diperlukan?

29 Agustus 2025   11:34 Diperbarui: 29 Agustus 2025   11:34 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Desain Pribadi

Demonstrasi 28 Agustus 2025: Suara Rakyat yang Menggema

Aksi besar-besaran pada 28 Agustus 2025 kembali mengingatkan kita pada rapuhnya hubungan antara rakyat dan wakilnya. Ribuan buruh, mahasiswa, hingga masyarakat sipil turun ke jalan menyuarakan tuntutan: upah layak, penghentian outsourcing, serta kritik tajam terhadap DPR yang dianggap lebih mementingkan kepentingan politik ketimbang rakyat.

Sayangnya, aksi yang awalnya berjalan damai berubah ricuh setelah massa dan aparat saling bentrok. Tragedi pun terjadi: Affan Kurniawan, seorang driver ojek online berusia 21 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat mengantar pesanan makanan. Ia bukan demonstran, melainkan rakyat biasa yang menjadi korban keganasan aparat.

Kejadian ini menambah daftar panjang alasan mengapa publik kian kecewa pada negara dan menggaungkan seruan "Bubarkan DPR".

Data yang Menggambarkan Krisis Kepercayaan

Seruan itu memang bukan tanpa dasar. Hasil survei Litbang Kompas (Agustus 2025) menunjukkan:

  • 76,2% masyarakat tidak puas dengan kinerja DPR periode 2019--2024.

  • 84,1% menilai DPR lebih berpihak pada partai politik ketimbang rakyat.

  • 85,8% publik mendukung adanya oposisi yang kuat agar DPR tak berjalan sendiri tanpa kontrol.

Angka-angka ini memperlihatkan satu hal: krisis kepercayaan mendalam. DPR kehilangan legitimasi moral di mata rakyat.

Antara Emosi dan Realitas Konstitusi

Sebagai alumni mahasiswa Ilmu Politik, saya melihat fenomena seruan "Bubarkan DPR" dari dua sudut pandang yang sering kali bertabrakan:

  • Secara emosional, tuntutan itu lahir dari akumulasi kekecewaan rakyat. Seruan tersebut wajar muncul ketika masyarakat merasa aspirasi mereka tidak pernah benar-benar diperjuangkan oleh wakil rakyat.

  • Secara konstitusional, membubarkan DPR adalah hal yang nyaris mustahil tanpa perubahan mendasar pada UUD 1945. Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden maupun lembaga lain tidak memiliki kewenangan untuk sekadar membubarkan DPR.

Sebagai alumni mahasiswa Ilmu Politik, saya meyakini tantangan terbesar kita bukan sekadar menyuarakan kemarahan, tetapi mengarahkan energi rakyat menuju reformasi konkret yang bisa ditempuh secara realistis dan sesuai konstitusi. Pertanyaannya, apakah kita akan terus terjebak pada seruan emosional, atau mulai merancang langkah-langkah perubahan yang benar-benar bisa diwujudkan?

Maka, pertanyaan kuncinya: apakah kita terus menyerukan hal yang tidak realistis, atau mengarahkan energi rakyat menuju reformasi konkret?

Reformasi yang Dibutuhkan

Dari sudut pandang politik, ada beberapa langkah strategis yang lebih mungkin diwujudkan dibanding sekadar wacana pembubaran:

  1. Reformasi Internal DPR

    • Transparansi penuh: rapat-rapat DPR harus bisa diakses publik secara live streaming.

    • Penerapan performance-based budget: gaji dan tunjangan anggota DPR harus terhubung dengan kinerja nyata.

  2. Penguatan Oposisi

    • Publik perlu mendesak partai-partai untuk tidak semuanya masuk ke koalisi pemerintah. Demokrasi sehat butuh penyeimbang yang kritis.

  3. Partisipasi Anak Muda

    • Anak muda tidak cukup hanya turun ke jalan. Kita perlu hadir dalam ruang politik formal: partai, parlemen kampus, bahkan pemilu legislatif. Perubahan harus dilakukan dari dalam, bukan hanya dari luar pagar DPR.

  4. Reformasi Aparat

    • Tragedi Affan adalah bukti bahwa aparat masih gagap menghadapi demokrasi jalanan. Pelatihan berbasis HAM dan mekanisme akuntabilitas yang tegas adalah harga mati.

 Penutup

Saya ikut prihatin dengan kondisi bangsa saat ini. Seruan "Bubarkan DPR" memang menggema, tetapi sebagai alumni Ilmu Politik saya percaya bahwa jalan keluar terbaik bukanlah destruksi, melainkan reformasi yang nyata dan terukur.

Kasus tragis Affan Kurniawan menjadi pengingat pahit bahwa nyawa rakyat kecil sering kali menjadi korban dalam pusaran konflik politik dan kebijakan yang timpang. Jika DPR masih ingin dipandang sebagai simbol demokrasi, mereka harus segera berbenah---bukan sekadar berlindung di balik konstitusi, tetapi benar-benar menghadirkan keberpihakan pada rakyat.

Lalu pertanyaannya: langkah apa yang paling mendesak agar DPR kembali dipercaya rakyat---transparansi, penguatan oposisi, atau peningkatan partisipasi politik generasi muda?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun